Header Ads

Aplikasi DNA Barkoding untuk Mengontrol Perdagangan Karang

Terumbu karang sering disebut rain forest dalam lautan[1] karena keanekaragaman spesies dan organime penghuninya yang sangat tinggi. Indonesia yang terletak tepat di jantung coral triangle, yang merupakan pusat keanekaragaman hayati laut (setara hutan Amazon-lah kalau di darat). Indonesia memiliki keanekaragaman spesies karang tertinggi di dunia, yaitu lebih dari 80 genera dan 596 spesies[23], dari total 800 spesies yang telah dideskripsikan di dunia[4]. Apalagi beberapa di antaranya merupakan spesies endemik loh, artinya hanya dapat ditemukan di Indonesia.
 Selain memiliki fungsi ekologi yang cukup tinggi, sejak lama karang juga telah diperdagangkan sebagai penghias aquarium (ornamental fish) karena keindahan warna dan bentuknya. Ekspor karang hidup yang bersumber dari Indonesia mencapai 78%, (729.703 individu) secara global pada tahun 1997, 66% (640.190) tahun 2000 dan 71% (669.192) tahun 2001. Sekitar 73% di antaranya diimpor oleh Amerika Serikat, sisanya oleh negara-negara Eropa, Jepang, Cina, Kanada, dan Korea. Khusus untuk genusAcropora saja total yang diekspor secara global sebanyak 79.720 individu, selama tahun 1998-2003[5], jumlah yang fantastis bukan? Itu belum termasuk ekspor karang ilegal, yang belakangan ini masih marak terjadi[6], boleh jadi jumlahnya tak kalah banyak. Sekarangpun Indonesia masih menjadi pengekspor karang terbesar di dunia[7].
Makanya tidak salah jika The Convention on International Trade in Endangered Species Species of Wild Fauna and Flora (CITES) memasukkan karang dalam daftar apendix II, artinya perdagangannya secara internasional harus dikontrol secara penuh, untuk menghindari over ekploitasi dan menjamin ketersediaannya di alam. Melalui pembatasan kuota ekspor yang dilihat berdasarkan ketersediaannya di alam. Nah, Indonesia dan beberapa negara lainnya telah meratifikasi konvensi CITES ini, ditandai dengan terbitnya Keputusan Pemerintah No.43 tahun 1978.
Khusus untuk Indonesia ada 805 spesies karang (ordo scleractinia) yang masuk dalam daftar apendix II CITES, yaitu: Acroporidae (225 spesies), Agariciidae (34), Anthemiphylliidae (3), Astrocoeniidae (3), Caryophylliidae (8), Dendrophylliidae (54), Faviidae (95), Flabellidae (33), Fungicyathidae (7), Fungiidae (52), Gardineriidae (2), Guyniidae (1), Merulinidae (11), Micrabaciidae (9), Mussidae (36), Oculinidae (13), Pectinidae (14), Pocilloporidae (22), Poritidae (68), Rhizangiidae (2), Siderasteridae (16) Trachyphylliidae (1), dan Turbinoliidae (14). Masing-masing famili/genus/spesies memiliki kuota ekspor, seperti genus Acropora kuota ekspor Indonesia 3.000 individu/tahun, spesies Favites abdita 3.500 individu/tahun, dan sebagainya. Selengkapnya dapat dilihat pada website CITES (www.cites.org).
Perdagangan karang tidak mungkin dikontrol dengan menempatkan taksonomis karang pada setiap balai karantina, apalagi spesies karang Indonesia yang mencapai 600. Ingat pula bahwa yang harus dikontrol perdagangannya bukan hanya karang saja loh, tapi hampir semua biota dari puncak gunung hingga dasar laut. Bayangkan jika setiap ordo biota tersebut membutuhkan ahli taksonominya masing-masing, apalagi Indonesia merupakan Mega Biodiversity. Sehingga dibutuhkan solusi yang efisien, salah satu solusi yang dikembangkan saat ini adalah DNA barcoding. DNA barcoding (biologi molekuler) dewasa ini telah banyak diaplikasikan pada berbagai bidang seperti savety food, medis, rekayasa genetik, taksonomi molekuler, ekologi molekuler, bahkan forensik.
Kelebihan Metode DNA Barcoding
DNA barcoding merupakan sebuah pendekatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi semua spesies yang saat ini telah dikenal, dan untuk menyediakan kriteria pengakuan spesies baru dengan menggunakan data berbasis DNA [8]. DNA barcoding berupa urutan basa-basa nukleotida (dikodekan dengan huruf A, C, T, dan G) pendek yang mengkode gen, urutan basa nukleotida ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies, karena setiap spesies memiliki urutan basa yang unik [9], mirip-mirip sidik jari lah keunikannya.
 DNA Barkode dapat menjadi sebuah pelengkap dan alternatif dalam perdagangan dan taksonomi karang, yang akan memudahkan dalam mengidentifikasi bahkan hingga tingkat spesies, jika dibandingkan dengan hanya menggunakan metode identifikasi secara morfologi. Kelebihan lain metode barcoding ini, juga dapat digunakan pada setiap stadia hidup (baik dari larva, juvenil maupun dewasa), karena tidak dipengaruhi oleh plastisitas fenotipik [10]. Contoh ringkas penggunaan Metode DNA barcoding dalam kehidupan sehari-hari adalah penggunaan barcode (pita hitam), yang digunakan di supermarket, hanya discan pada sensor inframerah langsung “ciklik” informasi dan harga suatu produk sekejap diketahui oleh kasir. Sangat efisien bukan?
Penggunaan DNA barcoding akan memudahkan pada bagian karantina untuk mengidentifikasi jenis karang yang akan diperdagangkan, bahkan jika data genetik cukup lengkap akan mampu mengetahui lokasi pengambilannya. Ini tentu saja sangat bermanfaat dalam mengontrol perdagangan karang. Bandingkan jika hanya mengandalkan metode identifikasi secara morfologi yang cukup rumit dan membutuhkan keahlian khusus.
Kendala DNA Barcoding pada Karang
Standar barcode yang digunakan selama ini adalah Gen Cytochrome c Oxidase subunit (COI) merupakan fragmen genom mitokondria DNA (mtDNA) dengan panjang sekitar 1.500 bp dan yang digunakan sebagai barcode biasanya hanya 750 bp. Gen ini telah banyak digunakan sebagai barcode (genetic marker) pada berbagai taksa, di antaranya pada ikan seperti ikan nemo[11], mengidentifikasi burung[12], mengidentifikasicryptic species pada kupu-kupu[13] dll.
Akan tetapi, gen ini tidak berlaku demikian pada karang dan hewan yang berada dalam filum Cnidaria dan Porifera [14], karena Gen COI pada Cnidaria termasuk di dalamnya karang memiliki laju evolusi 10-20 kali lebih lambat, akibatnya gen ini hanya mampu membedakan sampai pada level famili saja [15]. Sehingga diperlukan genetic marker yang laju evolusinya lebih tinggi lagi. Penggunaan gen genom ribosom DNA (rDNA) terlalu hypervariable, menyebabkan hanya mampu mengelompokan taksa yang pada level yang rendah saja, sehingga beberapa peneliti[16] mencoba menggabungkan antara gen COI dan rDNA, tentunya berimbas pada efisiensi biaya dan waktu.
Untuk memenuhi permintaan ekspor karang hias sekaligus menjaga kelestariannya, belakangan ini marak perbanyakan/pembudidayaan karang dengan menggunakan teknik transplantasi. Indukannya berasal dari koloni karang di alam, kemudian dibesarkan pada lokasi lain. Biasanya di atas meja-meja yang terbuat dari besi, bila ukurannya telah mencapai ukuran tertentu, maka sebahagian akan dipotong lagi untuk dibesarkan kembali. Jika hal ini berlanjut terus menerus, akan berimbas pada penurunan variasi genetik karang yang dibudidayakan dan diperdagangkan. Hal ini karena karang-karang tersebut berasal dari indukan sama yang diperbanyak secara vegetatif bukan dari proses perkawinan, sehingga tidak terjadi persilangan. Ini buak tidak mungkin akan mengganggu keseimbangan ekologi karang. Bila satu atau beberapa individu terserang penyakit, akan gampang menular ke individu yang lainnya. Ini karena individu-indivu tersebut secara genetik sama, tentunya daya tahan tubuh (imunitas) dan kemapuan adaptasi terhadap penyakit tentu sama pula. Variasi genetik yang rendah tadi, juga akan mengganggu sistem DNA barcoding terutama dalam lacak lokasi pengambilan. Apalagi jika terjadi pertukaran indukan-indukan antar lokasi. Sehingga ini membutuhkan regulasi, yang tentunya harus diawali dengan kajian yang mendalam untuk mengetahui sampai generasi berapakah idealnya karang diperbanyak secara vegetatif dan sampai batasan geografis bagaimanakah indukan boleh dipindahkan. Disinilah diperlukan kolaborasi antar berbagai bidang keilmuan, terutama orang-orang dari bidang ilmu Kelautan dan Biologi Molekuler.
Selain genetic marker yang belum stabil di atas, kendala lain yang akan kita hadapi adalah biaya yang relatif mahal, karena membangun sistem DNA barcoding harus ditunjang dengan peralatan dan bahan-bahan yang canggih plus cukup mahal. Sepengetahuan penulis alat dan bahan-bahan semuanya masih made outIndonesia. Harusnya orang-orang IT dan Kimia negeri ini mampu memproduksinya, karena alat dan bahan itu juga banyak digunakan secara luas pada berbagai bidang yang semuanya mengarah ke bidang DNA barcoding (molekuler), sepertisavety food, medis, taksonomi molekuler, ekologi molekuler, dll. Selain biaya yang mahal, Sumber Daya Manusia (SDM) khusunya dalam bidang Biologi Molekuler, Ilmu Kelautan dan Taksonomi Karang juga sangat dibutuhkan. Ahli Biologi Molekuer dan Taksonom Karang harus berkolaborasi dalam mengumpulkan dan menyusun data awal, yang nantinya akan digunakan sebagai data acuan DNA barcoding. Ahli Ilmu Kelautan harus mampu memetakan sumber daya karang di alam, pola reproduksi, penyakit. Kesalahan identifikasi dari tahap awal pengumpulan data genetik, akan menyebabkan kesalahan dalam penggunaan DNA barcoding dikemudian hari. Sebagai contoh bila data awal Favites chinensisdiidentifikasi sebagai Favia rotumana dan telah tersimpan dalam data base genetik (Gen Bank), maka penggunaan DNA barcoding Favites chinensis selamanya akan teridentifikasi sebagai Favia rotumana, hingga data genetiknya pada Gen Bank direvisi. Disinilah peran penting sinergi antara Taksonom Karang dan Biologi Molekuler untuk selalu saling mengoreksi spesimen-spesimen dan data genetik yang dijadikan acuan standar barcoding.
Jadi, meskipun alat dan SDM telah memadai akan tetapi penerapan DNA barcoding masih memerlukan waktu yang tidak singkat untuk dapat diaplikasikan secara luas pada karang, karena perlu pengumpulan data genetik semua spesies karang di Indonesia terutama yang diperdagangkan. Namun itu tak akan terwujud jika tidak segera dimulai, sebab “langkah 1000 pun haruslah dimulai dari langkah pertama”. Semuanya harus dimulai dari sekarang. Kolaborasi dan sinergi antar bidang ilmu dan antar instansi adalah hal mutlak, baik dari Pembudidaya, Otoritas Pengelola (KKP), Otoritas Keilmuan (LIPI), Perguruan Tinggi, maupun LSM. Jangan tunggu karang-karang kita keburu punah habis terekspor.
Daftar Rujukan
[1].      Knowlton N, Brainard RE, Fisher R, Moews M, Plaisance L, Caley MJ. Coral reef biodiversity. In: McIntyre AD, editor. Life in the World’s Oceans: Diversity Distribution and Abundance. Singapore: Wiley Blackwell; 2010. p. 65-74.
[2].      Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. The Ecology of the Indonesian Sea. Singapore (SG): Periplus Editions; 1997.
[3].      Suharsono. Jenis-Jenis Karang di Indonesia. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; 2008.
[4].      Veron JEN. Corals of the World. Townsville: Australian Institute of Marine Science; 2000.
[5].      Wabnitz C, Taylor M, Green E, Razak T. From Ocean to Aquarium. Cambridge (GB): UNEP-WCMC; 2003.
[6].      Ekspor Ilegal Terumbu Karang masih Marak di Bali.http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/06/09/3/160006/Ekspor-Ilegal-Terumbu-Karang-masih-Marak-di-Bali.
[7].      RI Pengekspor Karang Hias Terbesar di Dunia.http://finance.detik.com/read/2013/09/18/140339/2362179/4/ri-pengekspor-karang-hias-terbesar-di-dunia?r771108bcj.
[8].      Singleton P. Dictionary of DNA and Genome Technology. West Sussex (UK): Wiley-Blackwell; 2010.
[9].      Hebert PDN, Cywinska A, Ball SL, deWaard JR. Biological identifications through DNA barcodes. Proceedings of the Royal Society of London Series B: Biological Sciences. 2003;270(1512):313-21.
[10].    Shearer TL, Coffroth MA. Genetic identification of Caribbean scleractinian coral recruits at the Flower Garden Banks and the Florida Keys. Marine Ecology Progress Series. 2006;306:133-42.
[11].    Steinke D, Zemlak TS, Hebert PDN. Barcoding Nemo: DNA-Based Identifications for the Ornamental Fish Trade. PloS one. 2009;4(7):e6300.
[12].    Hebert PDN, Stoeckle MY, Zemlak TS, Francis CM. Identification of Birds through DNA Barcodes. PLoS biology. 2004;2(10):e312.
[13].    Hebert PDN, Penton EH, Burns JM, Janzen DH, Hallwachs§ W. Ten species in one: DNA barcoding reveals cryptic species in the neotropical skipper butterfly Astraptes fulgerator. PNAS 2004;101(41):14812–7.
[14].    Hebert PDN, Ratnasingham S, Waard JRd. Barcoding animal life: cytochrome c oxidase subunit 1 divergences among closely related species. Proc R Soc Lond B. 2003;270:S96-S9.
[15].    Erpenbeck D, Hooper JNA, WÖRheide G. CO1 phylogenies in diploblasts and the ‘Barcoding of Life’— are we sequencing a suboptimal partition? Molecular Ecology Notes. 2006;6(2):550-3.
[16].    Arrigoni R, Stefani F, Pichon M, Galli P, Benzoni F. Molecular phylogeny of the Robust clade (Faviidae, Mussidae, Merulinidae, and Pectiniidae): An Indian Ocean perspective. Molecular phylogenetics and evolution. 2012;65(1):183-93.
Andi Haerul 
Alumni Ilmu Kelautan ’07 Universitas Hasanuddin
Sumber:
Aplikasi DNA Barkoding untuk Mengontrol Perdagangan Karang. http://www.isla-unhas.org/aplikasi-dna-barkoding-untuk-mengontrol-perdagangan-karang/, [Diakses 16 Februari 2014]

No comments

Powered by Blogger.