Bersihkan Jarimu dari Kotornya Tinta Demokrasi
Tahukah engkau sobat jika di hari kemudian semuanya akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan sang Pencipta Jagad Raya ini, sekecil apapun itu
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya,Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (Al-Zalzalah 99:7-8)
Berdasarkan undang-undang dasar maupun undang-undang yang ada, anggota legislatif memiliki tiga fungsi pokok: (1) fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU; (2) melantik presiden/wakil presiden; (3) fungsi pengawasan, atau koreksi dan kontrol terhadap Pemerintah.
Pemilu Legislatif pada dasarnya bisa disamakan dengan wakalah, yang hukum asalnya mubah (boleh) berdasarkan hadis Nabi saw.:
«وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: اَرَدْتُ الْخُرُوْجَ اِلىَ خَيْبَرَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ: إِذَا أَتَيْتَ وَكِيْلِيْ بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقًا»
Jabir bin Abdillah ra. berkata, Aku hendak berangkat ke Khaibar, lalu aku menemui Nabi saw. Beliau bersabda, “Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq.” (HR Abu Dawud).
Dalam Baiat ‘Aqabah II, Rasulullah saw. juga pernah meminta 12 orang wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap beliau saat itu, yang dipilih oleh mereka sendiri.
Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa hukum asal wakalah adalah mubah, selama rukun-rukunnya sesuai dengan syariah Islam. Rukun wakalah terdiri dari: dua pihak yang berakad (pihak yang mewakilkan/muwakkil) dan pihak yang mewakili/wakîl); perkara yang diwakilkan atau amal yang akan dilakukan oleh wakil atas perintah muwakkil; dan redaksi akad perwakilannya (shigat taukîl).
Jika semua rukun tersebut terpenuhi maka yang menentukan apakah wakalah itu islami atau tidak adalah amal atau kegiatan yang akan dilakukan oleh wakil.
Terkait dengan anggota legislatif, hukum wakalah terhadap ketiga fungsi pokoknya tentu berbeda. Wakalah untuk membuat perundang-undangan sekular dan wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden yang akan menjalankan sistem sekular tentu berbeda hukumnya dengan wakalah untuk melakukan pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah.
Berkaitan dengan fungsi legislasi, setiap Muslim yang mengimani Allah SWT wajib menaati syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah; baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Allah SWT telah menegaskan:
Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah (QS Yusuf [12]: 40)
Allah SWT juga menyatakan bahwa konsekuensi iman adalah taat pada syariah-Nya (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 65; al-Ahzab [33]:36). Tidak boleh seorang Muslim mengharamkan apa yang telah Allah halalkan atau menghalalkan apa yang telah Allah haramkan. Tentang hal ini, Adi bin Hatim ra. berkata: Saya pernah mendatangi Nabi saw. ketika beliau sedang membaca surah Bara’ah:
Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam (QS at-Taubah [9]: 31).
Beliau bersabda, ”Mereka memang tidak menyembah para alim dan para rahib mereka. Namun, jika para alim dan para rahib mereka menghalalkan sesuatu, mereka pun menghalalkannya. Jika para alim dan para rahib mereka mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya.” (HR at-Tirmidzi).
Karena itu, menetapkan hukum yang tidak bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah adalah perbuatan yang bertentangan dengan akidah Islam, bahkan dapat dikategorikan sebagai perbuatan menyekutukan Allah SWT.
Dengan demikian, wakalah dalam fungsi legislasi yang akan menghasilkan hukum atau peraturan perundangan sekular tidak boleh, karena hal tersebut merupakan aktivitas yang bertentangan dengan akidah Islam.
Wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden juga tidak boleh, karena wakalah ini akan menjadi sarana untuk melaksanakan keharaman, yakni pelaksanaan hukum atau peraturan perundangan sekular yang bertentangan dengan syariah Islam oleh presiden/wakil presiden yang dilantik tersebut. Larangan ini berdasarkan pada kaidah syariah yang menyatakan:
(اَلْوَسِيْلَةُ اِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ)
Wasilah (perantaraan) yang pasti menghantarkan pada perbuatan haram adalah juga haram.
Adapun wakalah dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap Pemerintah adalah boleh selama tujuannya untuk amar makruf nahi mungkar. Wakalah semacam ini merupakan wakalah untuk melaksanakan perkara yang dibenarkan oleh syariah Islam.
Namun demikian, harus ditegaskan bahwa pencalonan anggota legislatif dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan dibolehkan sepanjang memenuhi syarat-syarat syar’i, bukan dibolehkan secara mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah:
- Harus menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekular. Dalam proses pemilihannya tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekular.
- Harus menyuarakan secara terbuka tujuan dari pencalonan itu, yaitu untuk menegakkan sistem (syariah) Islam, melawan dominasi asing dan membebaskan negeri ini dari pengaruh asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, yakni menegakkan sistem Islam, menghentikan sistem sekular dan mengoreksi penguasa.
- Dalam kampanyenya harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam.
- Harus konsisten melaksanakan poin-poin di atas.
Jariku bersih,dr kotorx tinta demokrasi, jaripun akan bersaksi d'hari kemudian #indonesiamilikALLAH @INAMilikAllah pic.twitter.com/UAEX7hkEhM
— Andi Haerul (@andihaerul) April 9, 2014
No comments