Jika Kaum Muslim Tidak Menguasai Parlemen Akan Membahayakan Eksistensi Islam ?
Banyak menyatakan, bahwa jika kaum muslim tidak berhasil menguasai parlemen atau jika parlemen dikuasai oleh musuh-musuh Islam, tentunya kondisi ini akan membahayakan eksistensi Islam dan kaum muslim. Sebab, parlemen merupakan lembaga yang akan merancang dan menetapkan aturan-aturan yang akan diterapkan di tengahtengah masyarakat. Jika parlemen dikuasai oleh orang-orang kafir, pranata yang lahir dan diterapkan akan banyak merugikan umat Islam. Padahal, menghilangkan bahaya bagi kaum muslim merupakan kewajiban. Mereka mengetengahkan kaidah fiqh yang sangat masyhur, "Aldharar yuzaalu" [bahaya harus dihilangkan], dan " al-Ashl fi al-madhaari al-tahriim" [hukum asal dari bahaya adalah haram]
Bantahan argumen tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, alasan jika tidak terlibat pemilu akan membuka jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum muslim adalah alasan yang sangat dangkal dan bertentangan dengan fakta. Sebab, mekanisme pemilu sekarang ini justru telah memberi jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum muslim. Sebab, sistem aturan di dalam pemilu telah membolehkan kaum kafir untuk membuat partai politik dan duduk dalam dewan perwakilan rakyat. Lebih dari itu, keberadaan pemilu juga membuka peluang selebar-lebarnya bagi kaum kafir untuk menduduki tampuk kekuasaan. Kenyataan seperti ini justru menunjukkan bahwa pemilu demokratik telah memberi peluang kepada orang kafir untuk menguasai kaum muslim. Jika pemilu dengan mekanisme seperti ini disetujui dan diikuti, tentunya peluang orang kafir untuk menguasai kaum muslim malah semakin besar, dan mereka merasa legal untuk menguasai kaum muslim.
Lantas, siapa yang membuat mekanisme aturan pemilu seperti ini? Siapa yang membuat mekanisme yang membuka ruang kepada kaum kafir untuk menguasai kaum muslim? Jawabnya adalah: wakil rakyat yang dahulu dipilih oleh rakyat; dan di antaranya adalah partai-partai Islam atau berbasis massa Islam. Lalu, mengapa yang disalahkan adalah orang yang tidak mengikuti pemilu, bukan orang yang memproduk undang-undang pemilu yang memberikan peluang orang kafir menguasai kaum muslim?
Dengan demikian, kaum muslim harus menolak dan tidak boleh memberikan partisipasi dalam bentuk apapun pada kegiatan pemilu.
Peluang orang kafir untuk menguasai kaum muslim akan tertutup, bahkan hilang sama sekali jika mekanisme pemilu melarang dengan tegas keikutsertaan kaum kafir, atau seluruh kaum muslim —terutama partai-partai Islam— bersepakat untuk menempuh mekanisme lain selain pemilu untuk menegakkan kekuasaan Islam. Namun, mekanisme pemilu sekarang ini telah memberikan legalitas kepada kaum kafir untuk membuat partai dan ikut serta dalam pemilu. Akibatnya, mereka memiliki peluang sama dengan kaum muslim dalam hal meraih kekuasaan.
Kenyataan semacam ini mengharuskan kaum muslim untuk tidak tunduk atau melibatkan diri dalam sebuah mekanisme yang memberikan peluang kepada kaum kafir untuk menguasai kaum muslim, yakni pemilu. Dengan kata lain, kaum muslim mesti menolak mekanisme yang bisa menjadikan dirinya dikuasai oleh kaum kafir; dan sudah seharusnya mereka menggagas model perjuangan lain untuk menegakkan kekuasaan Islam.
Anehnya, kebanyakan partai Islam yang menyerukan propaganda "jika tidak terlibat dalam pemilu maka kaum kafir akan menguasai kaum muslim", malah memiliki caleg non-muslim yang jumlahnya tidak sedikit.
Lantas, kita bertanya, mengapa mereka memberikan fatwa "Kaum muslim diharamkan tidak terlibat dalam pemilu dengan alasan kaum kafir akan menguasai kaum muslim", namun pada saat yang sama mereka malah memiliki caleg non-muslim? Bukankah ini malah menunjukkan bahwa mereka sendiri —partai-partai Islam— yang telah memberikan peluang kepada kaum kafir untuk menguasai kaum muslim?
Kedua, fakta sekarang justru menunjukkan bahwa, parlemen yang ada di negeri ini dikuasai oleh mayoritas muslim. Sayangnya, meskipun anggota yang duduk di keanggotaan parlemen adalah mayoritas muslim, namun aturan-aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat tidak banyak mengalami perubahan. Sistem pemerintahan, pendidikan, ekonomi, peradilan, maupun hubungan luar negeri, dan sistem-sistem kemasyarakatan yang lain tetap saja mengacu kepada hukum-hukum kufur. Pernyataan bahwa kalau kita tidak masuk parlemen, maka parlemen akan dikuasai oleh orang kafir, ternyata tidak terbukti. Sebab, justru yang duduk di parlemen adalah mayoritas kaum muslim, bukan non-muslim.
Yang terpenting bagi kaum muslim adalah mengubah mekanisme dan aturan pemerintahan berdasarkan asas Islam, bukan sekedar menduduki jabatan-jabatan formal namun tidak berdaya dengan aturan kufur, atau malah menjadi tangan panjang dan penjaga aturan kufur tersebut.
Sesungguhnya, keterlibatan kaum muslim dalam pesta demokrasi kufur ini merupakan bentuk keterjebakan politik (political trapping). Dengan kata lain, keterlibatan kaum muslim dalam parlemen tanpa sadar justru menunjukkan bahwa mereka telah merelakan dirinya dikuasai oleh skenario kaum kafir. Sebab, mekanisme dan syarat-syarat pemilu telah mereka desain untuk melanggengkan sistem pemerintahan demokratik-sekuleristik yang sangat bertentangan dengan syari'at Islam. Untuk itu, keterlibatan kaum muslim dalam parlemen dan pemilu secara tidak sadar justru telah memperkuat dan melanggengkan sistem kufur.
Seandainya umat Islam tidak ikut pemilu, kemudian bergerak menegakkan kekuasaan Islam secara mandiri tanpa harus didikte kaum kafir, tentu tidak akan ada lagi yang bisa menghalangi terjadi peralihan kekuasaan menuju kekuasaan Islam. Fakta-fakta keterlibatan kaum kafir dalam proses pemilu dan parlemen, sudah sangat jelas. Hampir di setiap pemilu, mereka memberikan bantuan dana, pemantau, infrastruktur, dan buku-buku panduan. Lebih dari itu, dedengkot kaum Yahudi, Henry Kissinger harus bersusah payah datang untuk memastikan berjalan atau tidaknya pemilu di negeri ini.
Kita lantas bertanya, apakah semua hal yang dilakukan kaum kafir ini benar-benar untuk kepentingan umat Islam; atau justru untuk menghancurkan umat Islam?
Sesungguhnya, konsens mereka terhadap pesta demokrasi di negeri ini, dalam bentuk bantuan dan sumbangan (dana dan pikiran), bukan ditujukan untuk membantu kaum muslim menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Akan tetapi, ini adalah upaya politik mereka untuk melanggengkan dan mengokohkan sistem sekuler dan ideologi kapitalisme.
Fakta juga menunjukkan bahwa, walaupun parlemen dikuasai oleh kaum muslim, akan tetapi, aturan yang ada di negeri ini tetap tidak Islamiy. Sebab, para anggota parlemen dipaksa untuk berpikir dan menelorkan aturan sejalan dengan aturan-aturan sekuleristik yang bertentangan dengan syariah.
Bahaya parlemen tidak muncul dari apakah parlemen dikuasai oleh orang kafir atau tidak, akan tetapi, muncul dari sistem parlemen itu sendiri. Sistem parlemen yang diterapkan di negeri ini merupakan produk dari sistem demokrasi kufur ala barat. Siapapun yang berkecimpung di dalam parlemen, mereka dipaksa untuk tunduk dengan sistem parlemen tersebut. Dengan kata lain, siapapun yang duduk di keanggotaan parlemen harus tunduk dengan aturanaturan yang ada di dalamnya. Atas dasar itu, walaupun mayoritas anggota parlemen adalah kaum muslim, namun selama sistem aturan yang ada di parlemen tidak berubah, maka hasilnya tetap akan sama. Kenyataan menunjukkan bahwa, parlemen yang ada di negeri ini diatur dengan sistem aturan yang sangat bertentangan dengan syari'at Islam. Parlemen juga telah terbukti banyak mengeluarkan dan menetapkan aturan-aturan yang bertentangan dengan syari'at Islam. Ini membuktikan bahwa berkecimpung di dalamnya termasuk perbuatan yang diharamkan Allah swt.
Fakta ini juga menunjukkan bahwa, justru sistem parlemenlah yang sebenarnya menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Islam. Sebab, dari parlemen inilah lahir pranata-pranata dan kebijakan-kebijakan yang sangat membahayakan eksistensi akidah umat. Oleh karena itu, untuk menghilangkan bahaya ini parlemen harus dihapuskan, bukan malah umat Islam disuruh untuk berkecimpung dan mendukung perjuangan parlementer dengan alasan menghilangkan bahaya. Sebab, bahaya paling besar justru muncul dari sistem parlemen itu sendiri, bukan dari umat yang tidak ikut parlemen dan pemilu.
Atas dasar itu, kaidah "bahaya harus dihilangkan" dan "hukum asal dari bahaya adalah haram", justru berlaku bagi mereka yang berkecimpung di parlemen, bukan pihak yang ada di luar parlemen. Sebab, bahaya itu muncul dari parlemen, bukan dari rakyat yang tidak mendukung perjuangan masuk parlemen. Sumber bahaya adalah sistem parlemen itu sendiri, bukan dari rakyat. Untuk itu, parlemenlah yang harus dihilangkan, bukan malah menyuruh rakyat untuk mendukung perjuangan via parlemen.
Akan tetapi mereka mengajukan argumentasi lain. Mereka menyatakan, bahwa keterlibatan mereka di parlemen justru ditujukan untuk mengubah pranata-pranata yang bertentangan dengan Islam dan merugikan kaum muslim.
Pendapat ini harus ditolak. Pertama, bagaimana kita akan mampu mengubah pranata mereka yang rusak, sementara itu dengan kerelaan kita mau mengikuti mekanisme dan aturan main mereka? Bukankah ini malah menunjukkan bahwa bukan kita yang mengubah, akan tetapi kitalah yang diubah? Dalam logika manapun, keterlibatan individu atau institusi dalam sebuah mekanisme aturan, akan menjadikan dirinya terjebak dan tunduk patuh dengan mekanisme itu. Mekanisme pemilu dan parlemen demokratik didesain untuk melanggengkan sistem demokrasi-sekuler. Lantas, bagaimana bisa dikatakan bahwa kita akan mengubah mereka, sementara itu kita mengikuti mekanisme mereka? Ini semua malah menunjukkan, bahwa bukan kita yang mengubah mereka, akan tetapi merekalah yang berhasil mengubah kita. Kedua, ketika kita hendak mengubah pranata yang rusak, caranya harus syar'iyyah dan tidak boleh menghalalkan segala cara. Islam tidak memperkenankan umatnya menghalalkan segala cara dalam mewujudkan tujuan-tujuannya. Al-ghayat laa tubarrir al-washiitah"[Tujuan tidak menghalalkan segala cara]. Seandainya anda diberi opsi, bahwa anda bisa menegakkan Islam, namun dengan syarat "menyetubuhi ibu anda sendiri", apakah anda akan menyetubuhi ibu anda sendiri, demi untuk menerapkan syari'ah?
Haramnya berkecimpung dalam sistem parlemen sudah sangat jelas dan tidak perlu takwil lagi. Sebab, syaratsyarat untuk terlibat di dalam parlemen adalah syarat-syarat yang tidak Islamiy. Misalnya, kaum muslim tidak boleh mengubah asas dan dasar negara berdasarkan asas dan dasar partai. Sekiranya partai Islam menang, mereka tetap tidak boleh mengubah asas dan dasar negara dengan prinsip Islam. Syarat-syarat semacam ini tentu bukanlah syarat yang Islamiy. Selain itu, adanya pemilihan presiden langsung merupakan bukti yang tak terbantahkan atas haramnya ikut dalam pemilu. Sebab, presiden bukanlah kepala negara dalam Islam. Kepala negara dalam Islam adalah khalifah yang memerintah kaum muslim dengan sistem khilafah, bukan dengan sistem presidensil. Walhasil, hukum memilih pemimpin dan membentuk sistem pemerintahan yang tidak Islamiy adalah haram. Untuk itu, berkecimpung dalam parlemen maupun pemilu jelas-jelas diharamkan di dalam Islam.
Keterangan di atas juga menunjukkan, bahwa menyeru kaum muslim untuk masuk ke dalam mekanisme parlemen demokratik sama artinya telah membahayakan masa depan umat Islam.
Di sisi lain, anggapan bahwa jika kaum muslim tidak masuk parlemen akan mendapatkan madharat adalah anggapan prematur yang harus ditolak. Kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Parlemenlah —dengan sistem seperti sekarang ini— yang menjadi sumber bahaya bagi umat, bukan umat, maupun orang yang tidak berkecimpung dalam parlemen.
Dalam hadits shahih disebutkan bahwa, seorang muslim wajib menjauhkan dirinya dan sistem yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Rasulullah saw bersabda:
"Akan ada pemimpin-pemimpin, yang kalian ketahui kema'rufannya (kebaikannya) dan kemungkarannya. Maka, siapa saja yang membencinya dia bebas (tidak berdosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi, siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)". [HR. Muslim]
Hadits ini menuturkan dengan sangat jelas agar kaum muslim menjauhi dan berlepas diri dari pemimpin-pemimpin dan sistem aturan yang telah menampakkan kekufuran yang nyata. Siapa saja yang membenci penguasa-penguasa dan sistem aturan tersebut, dirinya akan terbebas dari siksaan Allah swt. Sebaliknya, siapa saja yang meridhoi dan mendiamkan kezaliman serta kekufuran yang dilakukan oleh penguasa maka, dirinya akan mendapatkan siksaan di sisi Allah swt.
Orang yang berpendapat bahwa, bila tidak masuk parlemen akan muncul bahaya yang sangat besar, sesungguhnya tanpa sadar telah terjebak dalam asumsi bahwa parlemen merupakan satu-satunya jalan untuk menegakkan Islam. Tanpa disadari mereka juga memberikan kesan bahwa perjuangan ekstra parlemen bukanlah perjuangan Islam. Padahal, sejarah perubahan umat manusia tidak terjadi melalui perjuangan parlemen. Revolusi Merah di Sovyet, Revolusi Iran, Revolusi Industri, Revolusi Amerika, Perancis, Italia, dan Jerman, terjadi dari luar parlemen.
Ketiga, dalil lain untuk menolak asumsi pertama ini adalah perilaku rasulullah saw. Pada saat beliau saw berada di Mekah, beliau ditawari kekuasaan, wanita, dan harta, namun dengan syarat, beliau mau melakukan kompromi dengan kaum kafir Quraisy. Namun, Rasullah saw tetap teguh dan menolak tawaran kaum musyrikin Quraisy. Rasulullah saw menolak tawaran mereka disebabkan karena tawaran tersebut bersyarat. Sedangkan syarat-syaratnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip akidah Islam. Walhasil, apapun syaratnya, selama bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah saw, maka syarat tersebut harus ditolak.
Dari perilaku Rasulullah saw ini kita bisa menyimpulkan bahwa beliau saw rela menanggung resiko apapun demi menjaga kebersihan dan kesucian risalah Rabbnya. Beliau juga rela tetap berada dalam intimidasi dan ancaman untuk tetap berpegang teguh kepada petunjuk Rabbnya. Beliau tidak pernah menerima tawaran yang syaratnya bertentangan dengan akidah dan syariat Allah swt.
Meskipun hukum asal pemilu adalah mubah, akan tetapi selama syarat-syarat dan mekanisme yang ada di dalamnya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka seorang muslim tidak diperkenankan menerima ataupun kompromi dengan syarat-syarat tersebut. Resiko apapun harus ditanggung dan diterima.
Seorang muslim tidak boleh berpikir kebalikannya, yakni mengedepankan pertimbangan resiko dan menomorduakan prinsip-prinsip ajaran Islam. Apalagi, rela melacurkan ide-ide Islam hanya untuk kekuasaan yang belum tentu didapatkannya. Tentunya, sikap seorang muslim sejati adalah konsisten dan komitmen dengan akidah dan syariat Islam. Rasulullah saw, meskipun sudah mendapatkan tawaran kekuasaan —dan jika beliau saw mengiyakan pasti beliau akan menjadi seorang penguasa— akan tetapi, beliau menolak tawaran tersebut, apapun resikonya. Beliau lebih memilih untuk melawan intimidasi dan ancaman daripada menerima syarat-syarat pembesar Qurasiy.
Riwayat ini merupakan bukti yang sangat jelas bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi pemilu
dan parlemen yang memiliki syarat dan mekanisme seperti sekarang ini.
Sumber:
A. Said 'Aqil Humam 'Abdurrahman. 2004. HUKUM ISLAM SEPUTAR : Pemilihan Presiden Langsung, Koalisi Antara Partai, Pen-caleg-an Non-Muslim oleh Partai Islam, Keanggotaan Kaum Muslim di Dalam Parlemen, Anggota Legislatif Non-Muslim Wakil dari Partai Islam, Keanggotaan Non-Muslim Dalam Partai Islam, dan Pemilu dan Parlemen. Bogor: Al Azhar Press.
Bantahan argumen tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, alasan jika tidak terlibat pemilu akan membuka jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum muslim adalah alasan yang sangat dangkal dan bertentangan dengan fakta. Sebab, mekanisme pemilu sekarang ini justru telah memberi jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum muslim. Sebab, sistem aturan di dalam pemilu telah membolehkan kaum kafir untuk membuat partai politik dan duduk dalam dewan perwakilan rakyat. Lebih dari itu, keberadaan pemilu juga membuka peluang selebar-lebarnya bagi kaum kafir untuk menduduki tampuk kekuasaan. Kenyataan seperti ini justru menunjukkan bahwa pemilu demokratik telah memberi peluang kepada orang kafir untuk menguasai kaum muslim. Jika pemilu dengan mekanisme seperti ini disetujui dan diikuti, tentunya peluang orang kafir untuk menguasai kaum muslim malah semakin besar, dan mereka merasa legal untuk menguasai kaum muslim.
Lantas, siapa yang membuat mekanisme aturan pemilu seperti ini? Siapa yang membuat mekanisme yang membuka ruang kepada kaum kafir untuk menguasai kaum muslim? Jawabnya adalah: wakil rakyat yang dahulu dipilih oleh rakyat; dan di antaranya adalah partai-partai Islam atau berbasis massa Islam. Lalu, mengapa yang disalahkan adalah orang yang tidak mengikuti pemilu, bukan orang yang memproduk undang-undang pemilu yang memberikan peluang orang kafir menguasai kaum muslim?
Dengan demikian, kaum muslim harus menolak dan tidak boleh memberikan partisipasi dalam bentuk apapun pada kegiatan pemilu.
Peluang orang kafir untuk menguasai kaum muslim akan tertutup, bahkan hilang sama sekali jika mekanisme pemilu melarang dengan tegas keikutsertaan kaum kafir, atau seluruh kaum muslim —terutama partai-partai Islam— bersepakat untuk menempuh mekanisme lain selain pemilu untuk menegakkan kekuasaan Islam. Namun, mekanisme pemilu sekarang ini telah memberikan legalitas kepada kaum kafir untuk membuat partai dan ikut serta dalam pemilu. Akibatnya, mereka memiliki peluang sama dengan kaum muslim dalam hal meraih kekuasaan.
Kenyataan semacam ini mengharuskan kaum muslim untuk tidak tunduk atau melibatkan diri dalam sebuah mekanisme yang memberikan peluang kepada kaum kafir untuk menguasai kaum muslim, yakni pemilu. Dengan kata lain, kaum muslim mesti menolak mekanisme yang bisa menjadikan dirinya dikuasai oleh kaum kafir; dan sudah seharusnya mereka menggagas model perjuangan lain untuk menegakkan kekuasaan Islam.
Anehnya, kebanyakan partai Islam yang menyerukan propaganda "jika tidak terlibat dalam pemilu maka kaum kafir akan menguasai kaum muslim", malah memiliki caleg non-muslim yang jumlahnya tidak sedikit.
Lantas, kita bertanya, mengapa mereka memberikan fatwa "Kaum muslim diharamkan tidak terlibat dalam pemilu dengan alasan kaum kafir akan menguasai kaum muslim", namun pada saat yang sama mereka malah memiliki caleg non-muslim? Bukankah ini malah menunjukkan bahwa mereka sendiri —partai-partai Islam— yang telah memberikan peluang kepada kaum kafir untuk menguasai kaum muslim?
Kedua, fakta sekarang justru menunjukkan bahwa, parlemen yang ada di negeri ini dikuasai oleh mayoritas muslim. Sayangnya, meskipun anggota yang duduk di keanggotaan parlemen adalah mayoritas muslim, namun aturan-aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat tidak banyak mengalami perubahan. Sistem pemerintahan, pendidikan, ekonomi, peradilan, maupun hubungan luar negeri, dan sistem-sistem kemasyarakatan yang lain tetap saja mengacu kepada hukum-hukum kufur. Pernyataan bahwa kalau kita tidak masuk parlemen, maka parlemen akan dikuasai oleh orang kafir, ternyata tidak terbukti. Sebab, justru yang duduk di parlemen adalah mayoritas kaum muslim, bukan non-muslim.
Yang terpenting bagi kaum muslim adalah mengubah mekanisme dan aturan pemerintahan berdasarkan asas Islam, bukan sekedar menduduki jabatan-jabatan formal namun tidak berdaya dengan aturan kufur, atau malah menjadi tangan panjang dan penjaga aturan kufur tersebut.
Sesungguhnya, keterlibatan kaum muslim dalam pesta demokrasi kufur ini merupakan bentuk keterjebakan politik (political trapping). Dengan kata lain, keterlibatan kaum muslim dalam parlemen tanpa sadar justru menunjukkan bahwa mereka telah merelakan dirinya dikuasai oleh skenario kaum kafir. Sebab, mekanisme dan syarat-syarat pemilu telah mereka desain untuk melanggengkan sistem pemerintahan demokratik-sekuleristik yang sangat bertentangan dengan syari'at Islam. Untuk itu, keterlibatan kaum muslim dalam parlemen dan pemilu secara tidak sadar justru telah memperkuat dan melanggengkan sistem kufur.
Seandainya umat Islam tidak ikut pemilu, kemudian bergerak menegakkan kekuasaan Islam secara mandiri tanpa harus didikte kaum kafir, tentu tidak akan ada lagi yang bisa menghalangi terjadi peralihan kekuasaan menuju kekuasaan Islam. Fakta-fakta keterlibatan kaum kafir dalam proses pemilu dan parlemen, sudah sangat jelas. Hampir di setiap pemilu, mereka memberikan bantuan dana, pemantau, infrastruktur, dan buku-buku panduan. Lebih dari itu, dedengkot kaum Yahudi, Henry Kissinger harus bersusah payah datang untuk memastikan berjalan atau tidaknya pemilu di negeri ini.
Kita lantas bertanya, apakah semua hal yang dilakukan kaum kafir ini benar-benar untuk kepentingan umat Islam; atau justru untuk menghancurkan umat Islam?
Sesungguhnya, konsens mereka terhadap pesta demokrasi di negeri ini, dalam bentuk bantuan dan sumbangan (dana dan pikiran), bukan ditujukan untuk membantu kaum muslim menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Akan tetapi, ini adalah upaya politik mereka untuk melanggengkan dan mengokohkan sistem sekuler dan ideologi kapitalisme.
Fakta juga menunjukkan bahwa, walaupun parlemen dikuasai oleh kaum muslim, akan tetapi, aturan yang ada di negeri ini tetap tidak Islamiy. Sebab, para anggota parlemen dipaksa untuk berpikir dan menelorkan aturan sejalan dengan aturan-aturan sekuleristik yang bertentangan dengan syariah.
Bahaya parlemen tidak muncul dari apakah parlemen dikuasai oleh orang kafir atau tidak, akan tetapi, muncul dari sistem parlemen itu sendiri. Sistem parlemen yang diterapkan di negeri ini merupakan produk dari sistem demokrasi kufur ala barat. Siapapun yang berkecimpung di dalam parlemen, mereka dipaksa untuk tunduk dengan sistem parlemen tersebut. Dengan kata lain, siapapun yang duduk di keanggotaan parlemen harus tunduk dengan aturanaturan yang ada di dalamnya. Atas dasar itu, walaupun mayoritas anggota parlemen adalah kaum muslim, namun selama sistem aturan yang ada di parlemen tidak berubah, maka hasilnya tetap akan sama. Kenyataan menunjukkan bahwa, parlemen yang ada di negeri ini diatur dengan sistem aturan yang sangat bertentangan dengan syari'at Islam. Parlemen juga telah terbukti banyak mengeluarkan dan menetapkan aturan-aturan yang bertentangan dengan syari'at Islam. Ini membuktikan bahwa berkecimpung di dalamnya termasuk perbuatan yang diharamkan Allah swt.
Fakta ini juga menunjukkan bahwa, justru sistem parlemenlah yang sebenarnya menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Islam. Sebab, dari parlemen inilah lahir pranata-pranata dan kebijakan-kebijakan yang sangat membahayakan eksistensi akidah umat. Oleh karena itu, untuk menghilangkan bahaya ini parlemen harus dihapuskan, bukan malah umat Islam disuruh untuk berkecimpung dan mendukung perjuangan parlementer dengan alasan menghilangkan bahaya. Sebab, bahaya paling besar justru muncul dari sistem parlemen itu sendiri, bukan dari umat yang tidak ikut parlemen dan pemilu.
Atas dasar itu, kaidah "bahaya harus dihilangkan" dan "hukum asal dari bahaya adalah haram", justru berlaku bagi mereka yang berkecimpung di parlemen, bukan pihak yang ada di luar parlemen. Sebab, bahaya itu muncul dari parlemen, bukan dari rakyat yang tidak mendukung perjuangan masuk parlemen. Sumber bahaya adalah sistem parlemen itu sendiri, bukan dari rakyat. Untuk itu, parlemenlah yang harus dihilangkan, bukan malah menyuruh rakyat untuk mendukung perjuangan via parlemen.
Akan tetapi mereka mengajukan argumentasi lain. Mereka menyatakan, bahwa keterlibatan mereka di parlemen justru ditujukan untuk mengubah pranata-pranata yang bertentangan dengan Islam dan merugikan kaum muslim.
Pendapat ini harus ditolak. Pertama, bagaimana kita akan mampu mengubah pranata mereka yang rusak, sementara itu dengan kerelaan kita mau mengikuti mekanisme dan aturan main mereka? Bukankah ini malah menunjukkan bahwa bukan kita yang mengubah, akan tetapi kitalah yang diubah? Dalam logika manapun, keterlibatan individu atau institusi dalam sebuah mekanisme aturan, akan menjadikan dirinya terjebak dan tunduk patuh dengan mekanisme itu. Mekanisme pemilu dan parlemen demokratik didesain untuk melanggengkan sistem demokrasi-sekuler. Lantas, bagaimana bisa dikatakan bahwa kita akan mengubah mereka, sementara itu kita mengikuti mekanisme mereka? Ini semua malah menunjukkan, bahwa bukan kita yang mengubah mereka, akan tetapi merekalah yang berhasil mengubah kita. Kedua, ketika kita hendak mengubah pranata yang rusak, caranya harus syar'iyyah dan tidak boleh menghalalkan segala cara. Islam tidak memperkenankan umatnya menghalalkan segala cara dalam mewujudkan tujuan-tujuannya. Al-ghayat laa tubarrir al-washiitah"[Tujuan tidak menghalalkan segala cara]. Seandainya anda diberi opsi, bahwa anda bisa menegakkan Islam, namun dengan syarat "menyetubuhi ibu anda sendiri", apakah anda akan menyetubuhi ibu anda sendiri, demi untuk menerapkan syari'ah?
Haramnya berkecimpung dalam sistem parlemen sudah sangat jelas dan tidak perlu takwil lagi. Sebab, syaratsyarat untuk terlibat di dalam parlemen adalah syarat-syarat yang tidak Islamiy. Misalnya, kaum muslim tidak boleh mengubah asas dan dasar negara berdasarkan asas dan dasar partai. Sekiranya partai Islam menang, mereka tetap tidak boleh mengubah asas dan dasar negara dengan prinsip Islam. Syarat-syarat semacam ini tentu bukanlah syarat yang Islamiy. Selain itu, adanya pemilihan presiden langsung merupakan bukti yang tak terbantahkan atas haramnya ikut dalam pemilu. Sebab, presiden bukanlah kepala negara dalam Islam. Kepala negara dalam Islam adalah khalifah yang memerintah kaum muslim dengan sistem khilafah, bukan dengan sistem presidensil. Walhasil, hukum memilih pemimpin dan membentuk sistem pemerintahan yang tidak Islamiy adalah haram. Untuk itu, berkecimpung dalam parlemen maupun pemilu jelas-jelas diharamkan di dalam Islam.
Keterangan di atas juga menunjukkan, bahwa menyeru kaum muslim untuk masuk ke dalam mekanisme parlemen demokratik sama artinya telah membahayakan masa depan umat Islam.
Di sisi lain, anggapan bahwa jika kaum muslim tidak masuk parlemen akan mendapatkan madharat adalah anggapan prematur yang harus ditolak. Kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Parlemenlah —dengan sistem seperti sekarang ini— yang menjadi sumber bahaya bagi umat, bukan umat, maupun orang yang tidak berkecimpung dalam parlemen.
Dalam hadits shahih disebutkan bahwa, seorang muslim wajib menjauhkan dirinya dan sistem yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Rasulullah saw bersabda:
"Akan ada pemimpin-pemimpin, yang kalian ketahui kema'rufannya (kebaikannya) dan kemungkarannya. Maka, siapa saja yang membencinya dia bebas (tidak berdosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi, siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)". [HR. Muslim]
Hadits ini menuturkan dengan sangat jelas agar kaum muslim menjauhi dan berlepas diri dari pemimpin-pemimpin dan sistem aturan yang telah menampakkan kekufuran yang nyata. Siapa saja yang membenci penguasa-penguasa dan sistem aturan tersebut, dirinya akan terbebas dari siksaan Allah swt. Sebaliknya, siapa saja yang meridhoi dan mendiamkan kezaliman serta kekufuran yang dilakukan oleh penguasa maka, dirinya akan mendapatkan siksaan di sisi Allah swt.
Orang yang berpendapat bahwa, bila tidak masuk parlemen akan muncul bahaya yang sangat besar, sesungguhnya tanpa sadar telah terjebak dalam asumsi bahwa parlemen merupakan satu-satunya jalan untuk menegakkan Islam. Tanpa disadari mereka juga memberikan kesan bahwa perjuangan ekstra parlemen bukanlah perjuangan Islam. Padahal, sejarah perubahan umat manusia tidak terjadi melalui perjuangan parlemen. Revolusi Merah di Sovyet, Revolusi Iran, Revolusi Industri, Revolusi Amerika, Perancis, Italia, dan Jerman, terjadi dari luar parlemen.
Ketiga, dalil lain untuk menolak asumsi pertama ini adalah perilaku rasulullah saw. Pada saat beliau saw berada di Mekah, beliau ditawari kekuasaan, wanita, dan harta, namun dengan syarat, beliau mau melakukan kompromi dengan kaum kafir Quraisy. Namun, Rasullah saw tetap teguh dan menolak tawaran kaum musyrikin Quraisy. Rasulullah saw menolak tawaran mereka disebabkan karena tawaran tersebut bersyarat. Sedangkan syarat-syaratnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip akidah Islam. Walhasil, apapun syaratnya, selama bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah saw, maka syarat tersebut harus ditolak.
Dari perilaku Rasulullah saw ini kita bisa menyimpulkan bahwa beliau saw rela menanggung resiko apapun demi menjaga kebersihan dan kesucian risalah Rabbnya. Beliau juga rela tetap berada dalam intimidasi dan ancaman untuk tetap berpegang teguh kepada petunjuk Rabbnya. Beliau tidak pernah menerima tawaran yang syaratnya bertentangan dengan akidah dan syariat Allah swt.
Meskipun hukum asal pemilu adalah mubah, akan tetapi selama syarat-syarat dan mekanisme yang ada di dalamnya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka seorang muslim tidak diperkenankan menerima ataupun kompromi dengan syarat-syarat tersebut. Resiko apapun harus ditanggung dan diterima.
Seorang muslim tidak boleh berpikir kebalikannya, yakni mengedepankan pertimbangan resiko dan menomorduakan prinsip-prinsip ajaran Islam. Apalagi, rela melacurkan ide-ide Islam hanya untuk kekuasaan yang belum tentu didapatkannya. Tentunya, sikap seorang muslim sejati adalah konsisten dan komitmen dengan akidah dan syariat Islam. Rasulullah saw, meskipun sudah mendapatkan tawaran kekuasaan —dan jika beliau saw mengiyakan pasti beliau akan menjadi seorang penguasa— akan tetapi, beliau menolak tawaran tersebut, apapun resikonya. Beliau lebih memilih untuk melawan intimidasi dan ancaman daripada menerima syarat-syarat pembesar Qurasiy.
Riwayat ini merupakan bukti yang sangat jelas bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi pemilu
dan parlemen yang memiliki syarat dan mekanisme seperti sekarang ini.
Sumber:
A. Said 'Aqil Humam 'Abdurrahman. 2004. HUKUM ISLAM SEPUTAR : Pemilihan Presiden Langsung, Koalisi Antara Partai, Pen-caleg-an Non-Muslim oleh Partai Islam, Keanggotaan Kaum Muslim di Dalam Parlemen, Anggota Legislatif Non-Muslim Wakil dari Partai Islam, Keanggotaan Non-Muslim Dalam Partai Islam, dan Pemilu dan Parlemen. Bogor: Al Azhar Press.
No comments