Wawasan Kebangsaan Hizbut Tahrir Indonesia
Alhamdulillah ide Syariah dan Khilafah yang diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan beberapa gerakan islam lainnya kini bunganya mulai mekar bersemi. Ini dibuktikan dengan hasil survei SEM Institut baru-baru ini yang memperlihatkan bahwa 72% penduduk negeri ini setuju diatur dengan Syariah Islam. Jika penyerbukan berhasil tentu tak lama lagi kita semua akan menuai buahnya, Amiin Ya Robbal Alamiin.
Jalan panjang perjuangan penerapan syariah dan khilafah yang di usung oleh HTI, tentulah tak semulus jalan hotmix. Banyak tantangan dan ujian yang seakan ingin membuktikan akan kehandalan tariqoh yang diusung oleh HTI. Tak sedikit yang membenturkan ide-ide HTI dengan masalah Nasionalisme, Ideologi Bangsa, dan NKRI yang telah final.
Untuk meluruskan semua itu kali ini saya akan mengutip catatan dari M. Ismail Yusanto (Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia), isinya sebagai berikut:
Pada awal bulan Maret lalu saya diundang oleh Wantimpres untuk sebuah diskusi terbatas tentang Peran Ormas Islam Dalam Penguatan Wawasan Kebangsaan Diskusi diikuti oleh Kelompok Kerja Bidang Keagamaan Wantimpres di Kantor Wantimpres Jakarta. Dalam kesempatan itu saya menyampaikan presentasi powerpoint berjudul, “Wawasan Kebangsaan Hizbut Tahrir Indonesia”.
Saya mengawali presentasi dengan pertanyaaan “Apa Makna Wawasan Kebangsaan?” Pertanyaan awal ini saya anggap penting karena tanggapan terhadap sebuah istilah akan sangat bergantung pada apa pengertian dari istilah itu. Dalam situasi seperti sekarang ini, saat sering sebuah istilah dimaknai secara berbeda-beda, memberikan batasan pengertian dari sebuah istilah mutlak diperlukan. Sebelum jelas apa pengertian wawasan kebangsaan itu, kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang atau sebuah kelompok, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia itu, memiliki atau tidak memiliki wawasan kebangsaan.
Selanjutnya saya katakan, “Bila wawasan kebangsaan diartikan sebagai bentuk kepedulian dan pembelaan terhadap negara, maka HTI memang sedang bekerja untuk menjaga negara ini dari segala bentuk penjajahan. Namun, bila wawasan kebangsaan diartikan sebagai ketundukan pada sekularisme, maka HTI dengan tegas menolak.” Pernyataan ini sekaligus untuk menegaskan posisi (standing position) HTI di hadapan istilah wawasan kebangsaan.
Selanjutnya saya nyatakan, “HTI bekerja untuk menjaga dan membebaskan negara ini dari segala bentuk penjajahan melalui penegakan syariah. Karena penjajahan yang paling nyata, setelah penjajahan fisik (militer) berakhir, adalah melalui penerapan sistem sekular, utamanya di bidang ekonomi dengan penerapan ekonomi kapitalis, dan di bidang politik penerapan demokrasi yang terbukti telah menimbulkan berbagai bentuk kerusakan (fasad).”
Melalui pernyataan itu, saya ingin menegaskan tentang kontekstualisasi perjuangan penerapan syariah, bahwa itu semua sesungguhnya merupakan bentuk kepedulian HTI terhadap keadaan negeri ini dan masa depannya.
Lalu saya katakan, “Dengan semangat kecintaan pada negeri ini, HTI berjuang melaluidakwah fikriyah (menebarkan pemikiran Islam dan membantah ide yang tidak Islami), dakwah siyasiyah (membentuk kesadaran dan perubahan politik) dan la ‘unfiyah (non kekerasan). Inilah juga bentuk syukur yang benar kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan kemerdekaan.”
Penegasan dalam kalimat terakhir ini penting disampaikan karena sangat sering kita mendengar seruan untuk bersyukur terhadap kemerdekaan yang telah didapat, tetapi bagaimana syukur itu harus diwujudkan tidak pernah ditegaskan dan ditunjukkan dengan jelas. Yang sering terjadi, justru banyak kegiatan untuk merayakan dan mengisi kemerdekaan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT.
Selanjutnya, saya menyinggung secara tidak langsung klaim sementara pihak yang menyatakan negara ini sudah final dengan menyatakan, “HTI memandang Indonesia adalah negara yang sedang terus berproses, berkembang dan berubah Ini dibuktikan dengan 4 kali amandemen UUD 45 yang berimplikasi pada banyak sekali aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.”
Logikanya, bila konstitusinya saja terus diubah, bagaimana bisa negara ini disebut sudah final? Lebih tepat negara ini disebut sedang terus berproses, berkembang dan berubah.
“Karena itu, HTI ingin menghela perubahan itu ke arah yang baik, yaitu ke arah Islam; bukan ke arah sosialisme ataupun kapitalisme yang diatasnamakan Pancasila. Hanya ke arah Islam sajalah kita bisa berharap terciptanya baldah thayyibah wa rabbun ghafur yang rahmatan lil alamin. Di situlah relevansi nyata dari usaha penegakan syariah.”
Akhirnya, saya menutup bagian awal dari presentasi dengan pertanyaan: Jadi mengapa harus diterapkan syariah? Syariah harus diterapkan karena akan menjadi ‘ilaju al-musykilati al-hayati al-insani (solusi persoalan hidup manusia). Penerapan syariah juga merupakan konsekuensi dari iman kepada Allah SWT. Syariah pasti membawa rahmat, bagi Muslim maupun non-Muslim.”
Presentasi kemudian dilanjutkan dengan penyampaikan lebih rinci mengapa syariah harus diterapkan berikut contoh-contoh praktis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang memakan waktu sekitar 30 menit. Di akhir presentasi, saya mengunci dengan sebuah kesimpulan, “Jadi, perjuangan penegakan syariah sesungguhnya adalah bentuk kecintaan amat dalam pada negeri ini untuk membawa negeri ini kepada penghambaan yang hakiki kepada Allah SWT Yang yang telah memberikan kemerdekaan dari penjajahan. Indonesia adalah bagian dari bumi Allah, milik Allah, maka mestinya ditata dengan aturan Allah (syariah) .
++++
Usai presentasi dari 4 pembicara yang diundang, yaitu Habib Muhsin (FPI), Yazir ASP (Pusat Studi Pancasila UGM), Irfwan S. Awwas (MMI) dan saya, dilakukan disksusi. Sesi diskusi dan tanya-jawab berlangsung hangat. Banyak pertanyaan yang diajukan kepada saya. Ada satu pertanyaan yang menarik dan menggelitik, “HTI mengusung ide khilafah, apakah ustadz Ismail merasa ide itu sesuai dengan peraturan perundangan yang ada?”
Terus terang, saya belum pernah mendapatkan pertanyaan seperti ini. Pembaca semua tentu tahu arah pertanyaan ini kemana. Lalu saya jawab kurang lebih begini, “Tentu saja peraturan perundangan yang ada tidak bisa memuat ide khilafah. Namun, bukan di situ persoalannya. Sebab, kalau begitu cara berpikir kita, kita tidak akan bisa menemukan ide-ide baru. Dalam menanggapi sebuah ide, mestinya kita harus menilai bagaimana ide itu, bagus atau tidak, menyelesaikan masalah atau tidak, dan seterusnya. Contohnya, dulu pada masa Orde Baru, gagasan partai lebih dari tiga langsung ditolak karena tidak sesuai dengan aturan yang ada pada waktu itu. Namun, karena gagasan itu dipandang baik, maka aturan itu kemudian diubah sehingga sekarang bisa berdiri banyak parpol. Begitu juga dengan gagasan Uni Eropa yang dilontarkan pertama kali pada tahun 1953. Bila menggunakan ukuran peraturan perundangan dari negara-negara di Eropa ketika itu pasti gagasan Uni Eropa tidak sesuai. Namun, karena ide itu dipandang bagus untuk menjawab tantangan globalisasi, dan pada gilirannya nanti akan memberikan kebaikan kepada semua negara anggota, maka peraturan perundangan di masing-masing negara Uni Eropa, seperti soal moneter, keimigrasian dan sebagainya, kemudian disesuaikan agar bisa memuat gagasan yang awalnya tidak sedikit yang menentang.”
Menutup jawaban, saya lalu mengatakan, “Jadi, supaya terbebas dari kerangkeng pemikiran yang membelenggu, yang menghambat kita dari menemukan gagasan-gagasan baru, tampaknya tidak cukup kita mengikuti nasihat think out of the box, kalau perlu think without box. Kita ini sudah sangat lama terperangkap dalam apa yang disebut jebakan politik dan jebakan intelektual (political and intelectual trap) sehingga kita menjadi gamang setiap menghadapi gagasan-gagasan baru, seperti ide khilafah. Padahal Khilafah bukanlah ide baru. Dia pernah ada dalam sejarah sehingga mempunyai basis historis dan empiris yang nyata. Ide ini juga mempunyai basis teologis yang kokoh karena memiliki dasar secara normatif dalam al-Quran, as-Sunnah, Ijmak dan Qiyas.”
Di akhir acara, saya meminta kepada Wantimpres untuk menghilangkan stigmatisasi yang selama ini terjadi, khususnya di kalangan birokrat pemerintah dan aparat keamanan, bahwa kelompok yang berjuang untuk tegaknya syariah sebagai tidak memiliki wawasan kebangsaan, bahkan anti Pancasila. Semestinya tudingan itu diarahkan kepada mereka yang menolak syariah, yang mendukung sekularisme dan menjadi komprador negara Barat, korup serta gemar menjual aset negara kepada pihak asing, yang semua itu jelas-jelas telah menimbulkan kerugian besar pada bangsa dan negara ini. [M. Ismail Yusanto]
Dari catatan di atas saya berharap kita semua dapat memahami ide penegakan Syariah dan Khilafah yang diusung oleh HTI. Saya tak sungkan untuk mengajak saudara(i) sekalian untuk bersinergi berjuang bersama.
Diundangnya HTI dan beberapa ormas islam lainnya oleh Wantimpres ini memperlihatkan kepada kita semua bahwa HTI dan beberapa ormas islam lainnya patut “diperhatikan”.
Sumber :
Wawasan Kebangsaan HTI [http://hizbut-tahrir.or.id/2014/04/03/wawasan-kebangsaan-hti/]
Jalan panjang perjuangan penerapan syariah dan khilafah yang di usung oleh HTI, tentulah tak semulus jalan hotmix. Banyak tantangan dan ujian yang seakan ingin membuktikan akan kehandalan tariqoh yang diusung oleh HTI. Tak sedikit yang membenturkan ide-ide HTI dengan masalah Nasionalisme, Ideologi Bangsa, dan NKRI yang telah final.
Untuk meluruskan semua itu kali ini saya akan mengutip catatan dari M. Ismail Yusanto (Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia), isinya sebagai berikut:
Pada awal bulan Maret lalu saya diundang oleh Wantimpres untuk sebuah diskusi terbatas tentang Peran Ormas Islam Dalam Penguatan Wawasan Kebangsaan Diskusi diikuti oleh Kelompok Kerja Bidang Keagamaan Wantimpres di Kantor Wantimpres Jakarta. Dalam kesempatan itu saya menyampaikan presentasi powerpoint berjudul, “Wawasan Kebangsaan Hizbut Tahrir Indonesia”.
Saya mengawali presentasi dengan pertanyaaan “Apa Makna Wawasan Kebangsaan?” Pertanyaan awal ini saya anggap penting karena tanggapan terhadap sebuah istilah akan sangat bergantung pada apa pengertian dari istilah itu. Dalam situasi seperti sekarang ini, saat sering sebuah istilah dimaknai secara berbeda-beda, memberikan batasan pengertian dari sebuah istilah mutlak diperlukan. Sebelum jelas apa pengertian wawasan kebangsaan itu, kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang atau sebuah kelompok, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia itu, memiliki atau tidak memiliki wawasan kebangsaan.
Selanjutnya saya katakan, “Bila wawasan kebangsaan diartikan sebagai bentuk kepedulian dan pembelaan terhadap negara, maka HTI memang sedang bekerja untuk menjaga negara ini dari segala bentuk penjajahan. Namun, bila wawasan kebangsaan diartikan sebagai ketundukan pada sekularisme, maka HTI dengan tegas menolak.” Pernyataan ini sekaligus untuk menegaskan posisi (standing position) HTI di hadapan istilah wawasan kebangsaan.
Selanjutnya saya nyatakan, “HTI bekerja untuk menjaga dan membebaskan negara ini dari segala bentuk penjajahan melalui penegakan syariah. Karena penjajahan yang paling nyata, setelah penjajahan fisik (militer) berakhir, adalah melalui penerapan sistem sekular, utamanya di bidang ekonomi dengan penerapan ekonomi kapitalis, dan di bidang politik penerapan demokrasi yang terbukti telah menimbulkan berbagai bentuk kerusakan (fasad).”
Melalui pernyataan itu, saya ingin menegaskan tentang kontekstualisasi perjuangan penerapan syariah, bahwa itu semua sesungguhnya merupakan bentuk kepedulian HTI terhadap keadaan negeri ini dan masa depannya.
Lalu saya katakan, “Dengan semangat kecintaan pada negeri ini, HTI berjuang melaluidakwah fikriyah (menebarkan pemikiran Islam dan membantah ide yang tidak Islami), dakwah siyasiyah (membentuk kesadaran dan perubahan politik) dan la ‘unfiyah (non kekerasan). Inilah juga bentuk syukur yang benar kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan kemerdekaan.”
Penegasan dalam kalimat terakhir ini penting disampaikan karena sangat sering kita mendengar seruan untuk bersyukur terhadap kemerdekaan yang telah didapat, tetapi bagaimana syukur itu harus diwujudkan tidak pernah ditegaskan dan ditunjukkan dengan jelas. Yang sering terjadi, justru banyak kegiatan untuk merayakan dan mengisi kemerdekaan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT.
Selanjutnya, saya menyinggung secara tidak langsung klaim sementara pihak yang menyatakan negara ini sudah final dengan menyatakan, “HTI memandang Indonesia adalah negara yang sedang terus berproses, berkembang dan berubah Ini dibuktikan dengan 4 kali amandemen UUD 45 yang berimplikasi pada banyak sekali aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.”
Logikanya, bila konstitusinya saja terus diubah, bagaimana bisa negara ini disebut sudah final? Lebih tepat negara ini disebut sedang terus berproses, berkembang dan berubah.
“Karena itu, HTI ingin menghela perubahan itu ke arah yang baik, yaitu ke arah Islam; bukan ke arah sosialisme ataupun kapitalisme yang diatasnamakan Pancasila. Hanya ke arah Islam sajalah kita bisa berharap terciptanya baldah thayyibah wa rabbun ghafur yang rahmatan lil alamin. Di situlah relevansi nyata dari usaha penegakan syariah.”
Akhirnya, saya menutup bagian awal dari presentasi dengan pertanyaan: Jadi mengapa harus diterapkan syariah? Syariah harus diterapkan karena akan menjadi ‘ilaju al-musykilati al-hayati al-insani (solusi persoalan hidup manusia). Penerapan syariah juga merupakan konsekuensi dari iman kepada Allah SWT. Syariah pasti membawa rahmat, bagi Muslim maupun non-Muslim.”
Presentasi kemudian dilanjutkan dengan penyampaikan lebih rinci mengapa syariah harus diterapkan berikut contoh-contoh praktis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang memakan waktu sekitar 30 menit. Di akhir presentasi, saya mengunci dengan sebuah kesimpulan, “Jadi, perjuangan penegakan syariah sesungguhnya adalah bentuk kecintaan amat dalam pada negeri ini untuk membawa negeri ini kepada penghambaan yang hakiki kepada Allah SWT Yang yang telah memberikan kemerdekaan dari penjajahan. Indonesia adalah bagian dari bumi Allah, milik Allah, maka mestinya ditata dengan aturan Allah (syariah) .
++++
Usai presentasi dari 4 pembicara yang diundang, yaitu Habib Muhsin (FPI), Yazir ASP (Pusat Studi Pancasila UGM), Irfwan S. Awwas (MMI) dan saya, dilakukan disksusi. Sesi diskusi dan tanya-jawab berlangsung hangat. Banyak pertanyaan yang diajukan kepada saya. Ada satu pertanyaan yang menarik dan menggelitik, “HTI mengusung ide khilafah, apakah ustadz Ismail merasa ide itu sesuai dengan peraturan perundangan yang ada?”
Terus terang, saya belum pernah mendapatkan pertanyaan seperti ini. Pembaca semua tentu tahu arah pertanyaan ini kemana. Lalu saya jawab kurang lebih begini, “Tentu saja peraturan perundangan yang ada tidak bisa memuat ide khilafah. Namun, bukan di situ persoalannya. Sebab, kalau begitu cara berpikir kita, kita tidak akan bisa menemukan ide-ide baru. Dalam menanggapi sebuah ide, mestinya kita harus menilai bagaimana ide itu, bagus atau tidak, menyelesaikan masalah atau tidak, dan seterusnya. Contohnya, dulu pada masa Orde Baru, gagasan partai lebih dari tiga langsung ditolak karena tidak sesuai dengan aturan yang ada pada waktu itu. Namun, karena gagasan itu dipandang baik, maka aturan itu kemudian diubah sehingga sekarang bisa berdiri banyak parpol. Begitu juga dengan gagasan Uni Eropa yang dilontarkan pertama kali pada tahun 1953. Bila menggunakan ukuran peraturan perundangan dari negara-negara di Eropa ketika itu pasti gagasan Uni Eropa tidak sesuai. Namun, karena ide itu dipandang bagus untuk menjawab tantangan globalisasi, dan pada gilirannya nanti akan memberikan kebaikan kepada semua negara anggota, maka peraturan perundangan di masing-masing negara Uni Eropa, seperti soal moneter, keimigrasian dan sebagainya, kemudian disesuaikan agar bisa memuat gagasan yang awalnya tidak sedikit yang menentang.”
Menutup jawaban, saya lalu mengatakan, “Jadi, supaya terbebas dari kerangkeng pemikiran yang membelenggu, yang menghambat kita dari menemukan gagasan-gagasan baru, tampaknya tidak cukup kita mengikuti nasihat think out of the box, kalau perlu think without box. Kita ini sudah sangat lama terperangkap dalam apa yang disebut jebakan politik dan jebakan intelektual (political and intelectual trap) sehingga kita menjadi gamang setiap menghadapi gagasan-gagasan baru, seperti ide khilafah. Padahal Khilafah bukanlah ide baru. Dia pernah ada dalam sejarah sehingga mempunyai basis historis dan empiris yang nyata. Ide ini juga mempunyai basis teologis yang kokoh karena memiliki dasar secara normatif dalam al-Quran, as-Sunnah, Ijmak dan Qiyas.”
Di akhir acara, saya meminta kepada Wantimpres untuk menghilangkan stigmatisasi yang selama ini terjadi, khususnya di kalangan birokrat pemerintah dan aparat keamanan, bahwa kelompok yang berjuang untuk tegaknya syariah sebagai tidak memiliki wawasan kebangsaan, bahkan anti Pancasila. Semestinya tudingan itu diarahkan kepada mereka yang menolak syariah, yang mendukung sekularisme dan menjadi komprador negara Barat, korup serta gemar menjual aset negara kepada pihak asing, yang semua itu jelas-jelas telah menimbulkan kerugian besar pada bangsa dan negara ini. [M. Ismail Yusanto]
Dari catatan di atas saya berharap kita semua dapat memahami ide penegakan Syariah dan Khilafah yang diusung oleh HTI. Saya tak sungkan untuk mengajak saudara(i) sekalian untuk bersinergi berjuang bersama.
Diundangnya HTI dan beberapa ormas islam lainnya oleh Wantimpres ini memperlihatkan kepada kita semua bahwa HTI dan beberapa ormas islam lainnya patut “diperhatikan”.
Sumber :
Wawasan Kebangsaan HTI [http://hizbut-tahrir.or.id/2014/04/03/wawasan-kebangsaan-hti/]
No comments