Kalau Jodoh Takkan Kemana
Aku sebenarnya belum buru-buru amat untuk segera nikah, apalagi usiaku belum genap 24 tahun, boleh dibilang belum terlintas sama sekali lah di pikiranku. Di keluargakupun aku masih dihitung kanak-kanak. Apalagi aku belum mampu secara finansial, jangankan untuk menafkahi anak orang, untuk sekedar menyuapi diri sendiri saja masih bergantung orang tua. Kalau urusan yang satu itu juga kan bisa diatasi dengan puasa senin kamis, meskipun kadang-kadang juga merasa tidak sanggup lagi hehehe…, yah mungkin pengaruh faktor lingkungan saja.
Namun apa daya mau dikata, jika kondisi lain terjadi. Saat bertemu seseorang yang membuat ku tertarik padanya, aku selalu berusaha untuk menutupinya, karena beranggapan aku merasa belum cukup umur untuk menikah, dan aku tak mau pacaran. Namun jujur aku tidak mampu membendungnya.
Itu semua berawal dari laptop yang rusak….., Yah aku memang banyak dikenal di teman-temanku sebagai Mahasiwa Kelautan yang salah Jurusan, karena memiliki sedikit kemampuan untuk otak-atik software komputer apalagi kalau cuma windows dan program-program dasar lainnya. Bagiku itu adalah hal yang biasa-biasa saja, namun bagi teman-temanku menganggap itu sebagai suatu keahlian.
Pada suatu hari di Tahun 2012, Rekanku anggap saja Bunga hehehe sms ke saya ada salah seorang temannya yang bermasalah laptopnya dan kemungkian akan reinstal Windows. Lalu kusuruh saja ke kostku untuk cek laptopnya. Dan memang betul laptopnya perlu direinstal. Namun kali ini bukan laptopnya yang menjadi titik fokusku, aka tetapi pemilik laptop tersebut hehehe..,. Itu pertama kalinya aku merasakan tak mampu menatap seseorang, aku berfikir apa yang aneh pada diriku.
Karena saat itu aku juga belum makan, makanya Bunga dan temannya itu ku ajak makan di warung nasi goreng, sambil ngobrol dan bercanda. Habis makan kembali lagi ke kostku untuk melanjutkan service laptop, karena proses instalasi windows dan software pendukungnya membutuhkan waktu yang agak lama dan malam sudah mulai larut, maka laptopnya dititip saja, dan janjian untuk diambil besok pagi di kampus. Malamnya saya bereskan dan besok paginya ku serahkan dalam keadaan yang sudah beres pada si empunya laptop itu.
Hari berlalu biasa-biasa saja dan tidak terjadi apa-apa, namun aku merasa bingung bin aneh kok wajah dan gerak-gerik yang kalem dari si mahluk yang ku service laptopnya itu selalu terbayang yah. Akhirnya kucoba korek-korek sedikit informasi tentangnya sama si Bunga. Mungkin karena gelagat yang tak bisa disembunyikan atau karena Bunga yang sudah tau tingkah lakuku hingga dia menyimpulkan kalau aku itu “menyukai” si pemilik laptop itu.
Perasaan sukaku kepadanya tak mampu kubendung lagi, aku berusaha mengungkapkannya namun tak tau bagaimana caranya. Padahal komunikasi via Whatsapp sebenarnya lancar-lancar saja, dan jujur ku akui aku merasa senang jika berWhatsapan dengannya. Hingga ahirnya di suatu waktu dengan keberanian yang ku kumpul-kumpulkan selama beberapa hari ahirnya kuberanikan menyampaikan padanya, kalau aku ingin menjadikannya Ibu bagi Haerul Junior. Aku tak tau waktu itu apakah dia kaget dengan pesan Whatsapp ku itu, atau dia suda tau semuanya dari gelagatku. Waktu itu aku pasrah saja mau diterima atau tidak itu urusan ke-27 yang jelas saya suda menyampaikannya secara jujur, dari pada menjadi beban pikiran bagiku yang sedang ngedraft thesis.
Namun apa yang terjadi ternyata di luar dugaanku dia bersedia menjadi ibu untuk Haerul Junior, bahkan sudah cc ke orang tuanya (katanya lewat WA), aku senang bercampur gugup nan grogi, aku bertanya pada diriku sendiri apa yang telah kulakukan pada anak orang.
Hingga hari-hari kulalui bersamanya dengan hati yang berbungan-bunga, meskipun hanya sekedar via WA dan tak pernah bertemu langsung namun kami merasakan jika ini sudah “melanggar”, kami suda terlalu jauh. Hingga pada suatu hari si pemilik laptop ini mengatakan ke padaku “ini semua harus diahiri dengan pernikahan, atau saling melupakan meski itu saling menyakiti”. Meskipun aku kaget, tapi aku juga menyadari bahwa kami memang telah melangkah terlalu jauh, alias tak beda jauh dengan pacaran.
Tapi mau bagaimana lagi aku belum siap untuk menikah, aku belum punya apa-apa, dengan berkelit aku berusaha meyakinkannya. Ku katakan padanya bahwa suami itu memiliki kewajiban untuk menafkahi dan mendidik istrinya, sedangkan akau belum mampu untuk itu, bagaimana kalau kita tunggu hingga studiku selesai. Alhamdulillah dia juga mengerti, karena dia juga pasti tau bagaimana menjalani hidup dalam masa-masa studi di perantauan. Dan orang tuanya juga menyarankan padanya untuk pending dulu hingga studinya selesai. Meskipun orang tuanya belum pasti untuk menerimaku untuk anaknya itu. Yah wajarlah karena ortunyakan memang belum pernah bertemu denganku. Sejak saat itu kami berdua membuat komitmen untuk memutuskan komunikasi dulu, kecuali untuk hal-hal yang penting, dan akan dilanjutkan jika studiku telah beres.
Hari-hari kupun ku lalui dengan penuh rasa yang berbunga-bunga, tiap hari wajahnya selalu melintas di depan mataku. Tapi aku harus bersabar menaati komitment yang telah kami buat, meskipun masih kadang komunikasi untuk hal-hal tertentu. Kadang ada rasa senang jika sesekali dapat berkomunikasi dengannya meskipun hanya lewat sebaris pesan di WA, atau sekedar melihat akun FBnya, dan aku paling senang jika dia melike status FB ku, gubraak….
Aku hanya berdoa semoga studi kami berdua dilancarkan, pesan ku kepadanya bahwa aku juga belum mampu untuk buru-buru berumah tangga kok, tapi aku paling takut didahului orang lain, dia pun berpesan padaku kalau “jodoh itu tidak akan kemana”.
“Ya Allah jika kami memang Engkau takdirkan untuk bersama, maka saling pantaskanlah kami berdua, bimbinglah kami untuk selalu berada di jalan yang Engkau Ridhoi, pertemukanlah kami dalam rumah tangga yang sakinah ma wadah warahmah. Amiin Ya Robbal Alamiin”
Bogor, 17 Mei 2014, 12:27 am
No comments