Header Ads

Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Indonesia dalam Prespektif Islam

Pulau Pulau Kecil

1. Potensi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Indonesia

Negeri-negeri islam memiliki potensi yang cukup besar, mulai dari daratan hingga dasar laut. Khusus untuk Indonesia saja memiliki 17.504 buah pulau (namun baru 13.466 memiliki nama dan dideposit di PBB), panjang garis pantai 95.181 km, luas perairan laut 5,8 juta km², ZEE 2,55 juta km², laut teritorial 0,30 juta km², Perairan Kepulaun 2,95 juta km², potensi lestari Perikanan tangkap 6,817 juta ton/tahun, potensi lahan budidaya laut lebih dari 12,4 juta ha (KKP, 2014).

Dari sektor energi Indonesia memiliki potensi cukup besar. Cadangan minyak bumi 4,04 milyar barel, Gas Bumi 104,71 triliun kubik kaki, batu bara 24.10 milyar short ton (ESDM, 2012). Sebahagian besar cadangan minyak dan gas bumi berada di laut lepas. Sebagai daerah yang berada pada garis equator, cahaya matahari juga memiliki potensi rata-rata sekitar 4,8 kWh/m2/hari bila dapat dikonversi menggunakan sholar-cell (Afif, 2007), belum lagi energi pasang surut, angin, dll

Laut Indonesia tepat berada di jantung pusat mega biodiversity, keanekaragaman hayatinya melebihi hutan amazon. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikaruniahi dengan ekosistem perairan tropis memiliki karakterstik dinamika sumberdaya perairan, termasuk di dalamnya sumberdaya ikan yang tinggi. Sumberdaya ikan yang hidup di wilayah perairan Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman hayati (biodiversity) paling tinggi. Sumberdaya tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan di dunia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1994). Di wilayah perairan laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain: tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang (kerapu, baronang, udang barong/lobster), ikan hias dan kekerangan termasuk rumput laut. Sebahagian besar potensi biodiversitas Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal, sehingga banyak yang menyebutnya sebagai the sleeping giant.

2. Permasalahan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Indonesia

Banyak warga negara yang menghuni pulau-pulau terluar negeri ini tidak memiliki akses telekomunikasi, pendidikan serta sarana dan prasarana lainnya. Punduduk daerah tersebut cenderung termarjinalkan. Sedangkan disisi lain aksesnya dibatasi dengan negara-negara tetangga dengan alasan nasionalisme. Seperti perbatasan Pulau Meranti dengan Malaysia. Padahal jika dilihat secara kultural masyarakat kedua perbatasan ini serumpun bahkan sama-sama muslim. Bukan hanya masyarakat pulau terluar yang termarjinalkan, karena pada kenyataannya hampir sebahagian besar masyarakat pesisir berada di bawah garis kemiskinan. Bila mengacu pada sttandar kemiskinan Bank Dunia (2 Dola AS/orang/hari) maka maka jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 49% dari total penduduknya.

Di sisi lain banyak sumber daya alam (SDA) wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terbengkalai seperti maraknya ilegal fishing yang dilakukan oleh kapal-kapal asing, pencurian pasir laut, dsb. Sedangkan dilain sisi indonesia sendiri mengimpor ikan. Hal ini diperparah dengan lemahnya militer indonesia untuk mengamankan wilayah perairan. Kapal-kapal yang dioperasikan adalah kapal-kapal usang, itupun dengan jumlah yang terbatas.

Terdapat berbagai kesenjangan yang masih mewarnai pembangunan perikanan dan kelautan di Indonesia baik secara nasional maupun secara lokal administratif pengelolaan. Berbagai prasarana yang dibangun oleh pemerintah, seperti pembangunan pelabuhan perikanan dan tempat-tempat pendaratan ikan yang tersebar di berbagai wilayah belum memberikan hasil yang memuaskan sesuai dengan yang diharapkan, berbagai model pengaturan dan kebijakan yang diambil belum dapat menyentuh secara baik terhadap permasalahan mendasar yang ada. Kondisi ini semakin diperparah dengan naiknya harga BBM. Padahal BBM merupakan kebutuhan primer nelayan untuk melaut.

UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang kini telah direvisi dengan UU No. 1 Tahun 2014. UU ini ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 15 Januari 2014 di Jakarta. Meskipun demikian orientasi utama undang-undang tersebut tidak berubah, yaitu sebagai berikut:

  • Industrialisasi yang ditandai dengan hadirnya HP-3, dan aturan akreditasi
  • Konservasi dengan terminologi ekosistem, bio-ekoregion, kawasan konservasi, dan rehabilitasi
  • Masyarakat adat dengan terminologi kearifan lokal

Pemerintah mengharapkan pemasukan negara dari sektor kelautan melalui perijinan sertifikat HP-3 dan biaya pajak lainnya. Jadi nantinya setiap meter persegi wilayah perairan akan disewakan kepada pengusaha baik lokal maupun asing melalui HP-3 meskipun hingga sekarang tarifnya belum tercantum dalam regulasi yang ada. Namun hal itu akan menghasilkan dampak negatif minimal sebagai berikut:

  • Jika masyarakat adat memiliki otoritas penuh atas HP-3 tidak ada yang menjamin masyarakat adat tersebut tidak akan melakukan kerjasama dengan pemilik modal. Dicurigai masyarakat adat akan menjadi celah untuk meloloskan HP-3 dengan mudah.
  • Pemberian HP3 oleh pemerintah kepada pengusaha dapat memicu ketidakadilan dalam pemerataan sumber daya alam. Sebagai contoh pada wilayah daratan saja sejak tahun 1999 kesenjangan penguasaan lahan di Indonesia meningkat tajam, yakni 1% populasi penduduk yang menguasai 80% tanah Indonesia (BPS, 2004). Artinya, 99% penduduk Indonesia hanya berbagi sisa lahan sebesar 20%. Jika dibiarkan maka wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pun akan bernasib sama.
  • Tidak bisa dipungkiri bahwa pengusaha/kapitalis hanya akan memperhitungkan keuntungan profit, dan tidak memikirkan nasib kerusakan alam dan masyarakat sekitarnya.
  • HP-3 akan menggusur secara perlahan masyarakat lokal
  • Besar peluang terjadinya reen seeking, lahan-lahan yang potensial (seperti lahan pertambakan, kawasan potensial budidaya, dan sebagainya) akan dikapling terlebih dahulu oleh birokrat dan akan berkolusi dengan pengusaha dalam pemanfaatannya.
  • Rawan terjadinya konflik sosial antar daerah dan antar nelayan karena pembagian lokasi laut
  • Bahkan Pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya jangankan boleh dikelolah oleh swasta bahkan asingpun diperbolehkan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 ayat 7 UU No. 27 Tahun 2007 yang berbunyi “Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya oleh orang asing harus mendapat persetujuan Menteri”. Artinya Pulau Pulau kecil dan perairan disekitarnya diperbolehkan dikuasai oleh asing asalkan dengan persetujuan menteri Kelautan dan Perikanan.

Ketidak seimbangan pengelolaan baik di daratan maupun di lautan ini mengindikasikan adanya ketimpangan secara sistemik dan struktural pada segala lini sistem di Indonesia, baik sistem pemerintahan maupun sistem perekonomian. Ketidakseimbangan ini semakin menciptakan rasa ketidakpuasan pada rakyat Indonesia. Padahal Indonesia telah merdeka sejak 69 tahun yang lalu.

3. Solusi Islam atas Permasalahan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Indonesia

Bagaimana Sistem Islam Mensejahtrahkan Penghuni Pulau-pulau Terluar

Konsep negara dalam islam bukanlah berdasarkan nation state sehingga warga negara tidak dibatasi aksesnya ke wilayah-wilayah tertentu apalagi jika masih sama-sama kaum muslimin. Islam juga sangat menghargai hak individu, sebagaimana pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, yang merasa takut jika pada hari kemudian dimintai pertanggung jawaban oleh Allah swt, karena adanya unta yang terpeleset akibat jalan yang rusak.

Umar Bin Khattab yang senantiasa melayani rakyatnya, bahkan beliau secara diam-diam melakukan perjalanan keluar masuk kampung untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Beliau tidak ingin satu pun rakyatnya tidak terlayani, hal ini dilakukan untuk memastikan tidak ada rakyatnya yang dilalaikan. Ini tak lain karena dorongan aqidah islam, bukan pencitraan.

Bagaimana Sistem Islam Menjaga Sumber Daya Alam (SDA) dari Gangguan Asing

Wilayah laut merupakan wilayah yang penting secara geopolitik untuk mempertahankan keamanan. Bahkan sebagai sarana transfortasi

Ada kaidah yang berbunyi Ma laa yatimmul waajib illaa bihi, fahuwa wajib (apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula). Kaidah ini pula yang menjadi pedoman bagi kaum Muslimin dalam menyiapkan segala sesuatu untuk menunaikan kewajiban yang disyariatkan. Begitu juga dalam melindungi Sumber Daya Alam (SDA).

Pada awal kekhilafahan umat islam mulai mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, dan mesiu. "Bangsa Arab sangat cepat menanggapi kebutuhan akan angkatan laut yang kuat untuk mempertahankan dan mempersatukan daerah kekuasaannya," jelas Ahmad Y. Al-Hassan dan Donald R Hill dalam karyanya Islamic Technology: An Illustrated History.

Selama era kekuasaan Bani Ummayah, Khalifah Mu'awiyah (602-680M) berusaha memulihkan kembali kesatuan wilayah Islam. Setelah berhasil mengamankan situasi dalam negeri, Mu'awiyah segera mengerahkan pasukan untuk perluasan wilayah kekuasaan.

Penaklukan Afrika Utara (647-709 M) merupakan peristiwa penting dan bersejarah selama masa kekuasaannya. Gubernur Mesir kala itu, Amr Ibnu Ash, merasa terganggu oleh kekuasaan Romawi di Afrika Utara. Karenanya, Amr Ibnu Ash mengerahkan pasukan di bawah pimpinan Jenderal Uqbah untuk menaklukkan wilayah Afrika Utara itu.

Berselang beberapa abad kemudian, Khilafah Turki Ustmani juga mampu mengalahkan kekuatan Kaisar Romawi. Mereka berhasil menundukkan Konstantinopel (ibu kota Kekaisaran Byzantium) pada tahun 1453. Sejak itu, pemerintahan Ustmani mulai mengembangkan Istanbul (kota Islam) menjadi pusat pelayaran.

Bahkan, Sultan Muhammad II pun menetapkan lautan dalam Golden Horn sebagai pusat industri dan gudang persenjataan maritim. Dia juga mengangkat komandan angkatan laut, Hamza Pasha, untuk membangun industri dan gudang persenjataan laut.

Khilafah Ustmani juga membuat sebuah kapal di Gallipoli Maritime Arsenal. Dengan komando Gedik Ahmed Pasha (tahun 1480 M), Khilafah Ustmani memperkokoh basis kekuatan lautnya di Istanbul. Maka tak heran, jika marinir Turki Usmani ketika itu mendominasi Laut Hitam dan menguasai Otranto.

Pada era kekuasaan Sultan Salim I (1512 M-1520 M), Turki Ustmani memodifikasi pusat persenjataan maritim di Istanbul. Salim I berambisi menciptakan negara yang kuat, tangguh di darat dan laut. Ia bertekad memiliki angkatan laut yang besar dan kuat untuk menguasai lautan.

Pembangunan dan perluasan pusat persenjataan maritim pun dilakukan dari Galata sampai ke Sungai Kagithane di bawah pengawasan Laksamana Cafer. Pembangunan dan perluasan ini rampung pada tahun 1515 M. Proyek besar ini menyedot dana hingga sekitar 50 ribu koin.

Selain mengembangkan pusat persenjataan Maritim Istanbul, Sultan Salim I juga memerintahkan membuat beberapa kapal laut berukuran besar. Selang beberapa tahun kemudian, sebanyak 150 unit kapal selesai dibuat. Dengan kekuatan yang dahsyat itu, Sultan Salim I pernah mengatakan, "Jika Scorpions (pasukan Kristen) menempati laut dengan kapalnya, jika bendera Paus dan raja-raja Prancis serta Spanyol berkibar di Pantai Trace, itu semata-mata karena toleransi kami."

Dengan memiliki armada kapal laut terbesar di dunia pada abad ke-16 M, Turki Ustmani telah menguasai Laut Mediterania, Laut Hitam, dan Samudera Hindia. Tak heran, bila kemudian Turki Ustmani kerap disebut sebagai kerajaan yang bermarkas di atas kapal laut. Ambisi Sultan Salim I menguasai Lautan akhirnya tercapai.

Bahkan, sekembalinya Sultan Salim I dari Mesir, ia berpikir kembali akan pentingnya membangun kekuatan di lautan yang lebih kuat. Sebelumnya, kekuasaan Ustmani Turki telah menguasai pelabuhan penting di Timur Mediterania, seperti Syiria dan Mesir. Gagasan Sultan Salim I ini terus dikembangkan oleh sultan-sultan berikutnya. Berkat kehebatannya, Turki Ustmani sempat menjadi adikuasa yang disegani bangsa-bangsa di dunia, baik di darat maupun di laut.

Berkaca dari para pendahulu kita di atas, bagaimana mereka menjadikan laut sebagai media mempertahankan kedaulatan negaranya, maka kitapun seharusnya demikian.

Pembagian Wilayah Laut dan Pulau-pulau Kecil dalam Pandangan Islam

Sistem ekonomi Islam memandang kepemilikan tanah harus diatur sebaik-baiknya. Islam secara tegas menolak sistem pembagian penguasaan tanah secara merata di antara seluruh masyarakat sebagaimana yang menjadi agenda land reform. Namun demikian, Islam juga tidak mengijinkan terjadinya penguasaan tanah secara berlebihan di luar kemampuan untuk mengelolanya. Karenanya, hukum-hukum seputar tanah dalam pandangan Islam memiliki karakteristik yang khas dengan adanya perbedaan prinsip dengan sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme. Hal ini juga dapat berlaku pada lahan-lahan pertanian di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sistem ekonomi Islam mengakui tanah termasuk dalam kategori kepemilikan individu apabila tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya seperti terdapat kandungan bahan tambang atau dikuasai oleh negara. Ketika kepemilikan ini dianggap sah secara syariah, maka pemilik tanah memiliki hak untuk mengelolanya maupun memindahtangankan secara waris, jual beli dan pembelian. Sebagaimana kepemilikan individu lainnya, kepemilikan atas tanah ini bersifat pasti tanpa ada pihak lain yang dapat mencabut hak-haknya. Negara melindungi harta milik warga negara dan melindunginya dari ancaman gangguan pihak lain.

Konsep dasar kepemilikan dalam Islam adalah firman Allah swt;

لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ,

Artinya: Milik Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. (QS. Al-Baqarah: 284)

Kepemilikan dalam islam terdiri dari tiga, yaitu Kepemilikan pribadi (al-milkiyat al-fardiyah/private property), Kepemilikan Umum (al-milkiyyat al-'ammah/public property), dan Kepemilikan Negara (milkiyyat al-dawlah/state private). Laut dan Pulau-pulau kecil sebahagian besar berada dalam kepemilikan umum. Apalagi jika di dalamnya terkandung barang tambang (mineral dan batuan) dengan kandungan yang cukup tinggi, begitu juga dengan lokasi penangkapan ikan potensial. Kepemilikan umum dalam hal ini adalah adalah izin al-shari' kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-shari' sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya, karena dapat menyebabkan perpecahan atau ketidakmerataan sumber daya alam. Sebagaimana dijelaskan dalam hadith nabi yang berkaitan dengan sarana umum:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

"Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api" (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Sehingga dalam kasus tertentu barang dengan kepemilikan umum bisa saja dikelola oleh negara, kemudian hasilnya dikembalikan kepada warga negara. Apakah itu dalam bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan, atau sarana dan prasarana lainnya. Namun dalam kondisi tertentu dapat menjadi milik individu dan milik negara. Kawasan tertentu dalam suatu pulau-pulau kecil atau lautan akan menjadi milik individu jika telah dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai lahan pertanian (seperti kebun kelapa), lahan budidaya rumput laut, pertambakan, keramba jaring apung, dll. Hal ini sebagaimana beberapa hadits berikut ini:

Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak.” (HR. Imam Bukhari dari Aisyah)

Siapa saja yang telah memagari sebidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya.” (HR. Abu Daud)

Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah hak miliknya.”(HR. Imam Bukhari)

Sehingga warga negara penghuni pulau tersebut tidak akan “tergusur” dengan sertifikat semacam HP-3. Begitu juga apabila ada warga negara yang tidak memiliki lahan maka negara akan memberinya lahan untuk bertani atau budidaya dari kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang belum dimanfaatkan. Akan tetapi lahan itu dapat ambil kembali oleh negara (khilafah) dan memberikannya kepada orang lain jika tidak dimanfaatkan, sebagaimana Umar bin Khaththab r.a. mengatakan:“Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang telah dipagarnya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun”. Dalam regulasi kepemilikan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khilafah (negara) juga tentunya akan memperhatikan aspek konservasi dan keberlanjutan pemanfaatan SDA, juga akan mencegah pemanfaatan secara destruktif, serta akan memperhatikan alur transfortasi/pelayaran, dsb.

Kawasan konservasi dalam islam dapat diartikan sama dengan istilah hima. Meskipun kawasan konservasi saat ini,  lebih bervariasi  disesuaikan dengan fungsinya. Hima merupakan kawasan lindung yang dilarang untuk dimiliki oleh siapapun agar ia tetap menjadi milik umum untuk tumbuhnya rumput dan pengembalaan hewan ternak menurut Imam Al- Mawardi. Hima dapat ditetapkan oleh daulah/khalifah dengan alasan sebagai berikut: (1) untuk kepentingan kemaslahatan umum, misalnya sumber air, pencegah banjir dan longsor, genetic resources, sumber  O2, jasa ekosistem  dan lainnya; (2) Penetapan hima demgan tujuan membebaskan masyarakat dari kesulitan kehidupan; (3) Kawasan tersebut ditujukan untuk memberi kemaslahatan dalam jangka panjang, misal sumber air bersih, mencegah banjir dan erosi dll.

Wilayah perairan laut merupakan kepemilikan umum, bukan kepemilikan negara maupun individu. Apalagi jika merupakan jalur transfortasi, daerah up-welling yang merupakan daerah potensial penangkapan ikan, dan mengandung bahan tambang dengan jumlah yang banyak. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang di dalamnya ada barang tambang (minyak, emas, perak, tembaga, dan sebagainya) ada 2 (dua) kemungkinan: 1) tanah itu tetap menjadi milik pribadi/negara jika hasil tambangnya sedikit, atau 2) menjadi milik umum jika hasil tambangnya banyak.

Sebagaimana riwayat Nabi SAW pernah memberikan tanah bergunung dan bertambang kepada Bilal bin Al-Harits Al-Muzni (HR Abu Dawud). Ini menunjukkan tanah yang bertambang boleh dimiliki individu jika tambangnya mempunyai kapasitas produksinya sedikit. Dan Nabi SAW suatu saat pernah memberikan tanah bertambang garam kepada Abyadh bin Hammal. Setelah diberitahu para sahabat bahwa hasil tambang itu sangat banyak, maka Nabi SAW menarik kembali tanah itu dari Abyadh bin Hammal (HR Tirmidzi). Hal ini menunjukkan tanah dengan tambang yang besar kapasitas produksinya, menjadi milik umum yang dikelola negara, tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh individu (swasta).

Apabila menjadi milik umum, maka pengelolaannya menjadi kewajiban negara untuk mengurusi kepentingan rakyatnya. Negara tidak berwenang menjual memberikan, maupun menyewakannya. Negara bisa mengupah atau mempekerjakan swasta dalam pengolahannya, bukan malah memberikan izin penggunaan lokasi atau pengelolaan kepada swasta apalagi asing. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya dominasi orang/swasta dengan kapital yang kuat. Adanya tanggung jawab negara dalam pengelolaan kepemilikan umum itu, secara langsung akan membuka lapangan kerja yang luas bagi masyarakat tanpa ketergantungan terhadap dominasi orang/swasta yang memiliki modal yang kuat apalagi asing

Dalam kasus tertentu wilayah perairan laut dan pulau-pulau kecil juga dapat menjadi milik negara jika merupakan kawasan strategis untuk mempertahankan kedaulatan khilafah. Misalkan jika digunakan sebagai pangkalan militer amirul jihad.

Penyewaan Wilayah Laut dan Pulau-pulau Kecil dalam Pandangan Islam

Hukum penyewaan wilayah pesisir termasuk di dalamnya laut dan pulau-pulau kecil tidak dapat diqiyaskan dengan hukum penyewaan lahan pertanian. Sebab, lahan pertanian sajalah yang secara syar’i dilarang untuk disewakan, sedangkan selain dari itu hukum penyewaannya adalah mubah sebagaimana sewa-menyewa pada umumnnya dalam islam. Sebahagian besar wilayah pesisir adalah daerah budidaya yang potensial, seperti pertambakan, budidaya rumput laut, karamba jaring apung, dsb. Seorang pemilik areal boleh menyewakan untuk budidaya perikanan, dll. Akan tetapi beda halnya dengan lahan pertanian yang berada di daerah pesisir dan pualu-pulau kecil, yang tidak diperbolehkan untuk menyewakan tanah tersebut untuk pertanian dengan sewa yang berupa makanan ataupun yang lain, yang dihasilkan oleh lahan pertanian tersebut, atau apa saja yang dihasilkan dari sana, sebab semuanya merupakan ijarah. Menyewakan tanah untuk pertanian itu secara mutlak hukumnya haram.

Rasulullah saw. bersabda:“Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil”(HR. Imam Bukhari)

Di dalam Shahih Muslim disebutkan:“Rasulullah saw. melarang pengambilan sewa atau bagian atas tanah”

Diriwayatkan,“Rasulullah saw. melarang menyewakan tanah. Kami bertanya: Wahai Rasulullah, kalau begitu kami akan menyewakannya dengan bibit. Beliau menjawab: ‘Jangan. ‘Bertanya (sahabat): ‘Kami akan menyewakannya dengan jerami. Beliau menjawab: “Jangan.” Bertanya (sahabat): ‘Kami akan menyewakannya dengan sesuatu yang ada di atas rabi. Beliau menjawab: “Jangan. Kamu tanami atau kamu berikan tanah itu kepada saudaramu.” (HR. Imam Nasa’i)

Dalam hadits shahih dinyatakan :“Bahwa beliau (Nabi) melarang pengambilan sewa dan bagian atas suatu tanah, serta menyewakan dengan sepertiga ataupun seperempat” Imam Abu Daud meriwayatkan dari Rafi’ bin Khudaij, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang mempunyai tanah, hendaknya menanami tanahnya, atau hendaknya (diberikan agar) ditanami oleh saudaranya. Dan janganlah menyewakannya dengan sepertiga, seperempat, maupun dengan makanan yang sepadan.”

Imam Bukhari meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar diberitahu Rafi’ bin Khudaij: “Bakwa Nabi saw. melarang menyewakan lahan pertanian.” Kemudian lbnu Umar pergi menemui Rafi’, lalu saya bersamanya, dan kami menanyainya. Dia berkata: “Nabi saw. telah melarang sewa lahan pertanian.” Imam Bukhari meriwayatkan dari Salim, bahwa Abdullah bin Umar telah meninggalkan sewa tanah.

Hadits-hadits di atas tegas menunjukkan larangan Rasulullah saw. terhadap penyewaan tanah. Larangan tersebut, menunjukkan adanya perintah untuk meninggalkannya sekaligus mengandung qarinah (indikasi) yang menjelaskan tentang adanya larangan yang tegas. Alternatif Islam tentang hal ini, adalah mempekerjakan orang lain untuk mengelola lahannya atau jika memang tidak mampu sama sekali, tanah hendaknya diberikan kepada orang lain sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :

Mereka bertanya kepada Rasulullah,“Kami akan menyewakannya dengan bibit.” Beliau menjawab: “Jangan.” Mereka bertanya: “Kami akan menyewakannya dengan jerami.” Beliau tetap menjawab: “Jangan.” Mereka bertanya lagi: “Kami akan menyewakannya dengan rabi’ (danau)”. Beliau tetap menjawab: “Jangan.” Kemudian beliau pertegas dengan sabdanya: “Tanamilah, atau berikanlah kepada saudaramu.”

Larangan penyewaan lahan pertanian dari sudut pandang ekonomi dapat dipahami sebagai upaya agar lahan pertanian dapat berfungsi secara optimal. Artinya seseorang yang mampu mengolah lahan harus memiliki lahan sementara siapapun yang tidak mampu dan tidak mau mengolah lahan maka tidak dibenarkan untuk menguasai lahan. Tujuannya adalah agar semua lahan potensial tetap produktif.

4. Sumber Rujukan:

Sumber Gambar: blograpuccino.blogspot.com

disampaikan pada Seminar Internal Bulanan Hizbut Tahrir Indonesia Chapter IPB, Minggu 9 Maret 2014, Masjid Nurul Falah Dramaga Bogor

image

 

 

Oleh: Andi Haerul

No comments

Powered by Blogger.